Sebuah Pertemuan

Sarah N Aini
3 min readOct 4, 2024

--

Dua pekan lalu saya baru saja bertemu seorang teman, sebut saja namanya Melati. Melati banyak sekali memberi nasihat pada saya karena sepertinya kisah hidupnya lebih menantang daripada saya.

Katanya, beberapa pekan lalu dia habis bertemu seorang psikolog, dari hasil pertemuan itu kami banyak mengobrol serius. Datang ke psikolog memang masih suatu hal yang tabu, sehingga wajar kalau banyak di masyarakat kita yang lebih senang mengumbar masalahnya di media sosial daripada mencari solusinya sendiri. Walaupun datang ke psikolog juga kita tidak akan diberikan solusi namun berkat bantuan profesional kita dapat memetakan langkah bijak apa yang harus kita lakukan.

Obrolan saya bersama Melati membuka saya pada satu fenomena: “Jadi orang nggak enakan.”
Jadi orang nggak enakan itu emang nggak enak banget! orang di sekitar kita bisa berbuat semena-mena dan seenak sendiri karena dia berpikir, “Kalem aja dia mah nggak akan marah!”
dalam kehidupan dunia yang kompleks ini, urusan bersosialisasi begitu sulit sehingga kadang untuk menyampaikan perasaan kita saja, terasa enggan. Padahal, hak kita pribadi untuk menyampaikan apa yang kita rasakan.
“Kalau kamu nggak suka diperlakukan kaya gitu sama orang, jauhin, Sar! cukup kenal aja.” nasihat Melati kepada saya, “Kata psikolog kemarin, kalau kita jujur sama orang, itu tandanya kita sayang sama dia.”

Misalnya kita kesal pada teman karena dia suka telat kalau janjian. Dengan kita jujur menyampaikan kekesalan kita, artinya kita sayang dan peduli pada dia.

Kesalahan itu kan harus diucapkan ke orang yang berbuat salahnya bukan diucapkan ke oranglain.

“Dan begitu juga dengan orang yang kita koreksi, kalau dia marah setelah kita jujur, artinya orang itu nggak dewasa. Dewasa itu menerima kekurangan bukan tersinggung.” lanjutnya lagi, “Kalau kamu nggak nyaman orang memperlakukan kamu buruk, kamu tinggalin orang itu, nggak ada alasan untuk bertahan. Salah satu indikator dari penerimaan sikap orang ke kita itu adalah keluarga. Kalau keluarga kita nggak pernah memperlakukan kita begitu, kenapa kita menerima perlakuan buruk orang lain kepada kita.”

Saya mengangguk lalu berpikir, alangkah sulitnya menjadi orang nggak enakan, bahkan untuk bilang “tidak” saja rasanya sulit. Banyak takutnya, takut menyakiti perasaan orang lain. Padahal kata temen saya lagi, “Aku bernafas bukan untuk menyenangkanmu.”

Tidak masalah orang tidak senang kepada kita. Baik atau buruk perlakuan kita pasti ada saja orang yang tidak suka, kan?

Lalu jika hanya perbedaan pendapat atau kita tidak melakukan yang teman kita inginkan, itu bukan salah kita. Jangan meminta maaf atas apa yang bukan salah kita. Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang wajar. Jika seseorang lantas marah terhadap perbedaan pendapat kita, yang perlu dikoreksi bukan kita.

Kenapa orang bisa marah pada perbedaan?

Bersama-sama kan tidak harus sama. Bersama-sama bisa juga berbeda pandangan lalu saling melengkapi dan saling mendukung. Selama itu masih dalam jalur yang benar, harusnya tidak ada konflik.

Lagi, saya teringat pada salah satu nasihat ustaz Nuzul bahwa ujian dari bersosialisasi adalah berkonflik.

Jadi ya, nikmati sajalah.

Jadi, ingat ya, kesalahan kita bukanlah perbedaan pandangan dengan teman atau ketidakinginan kita mengikuti apa kata orang lain. Jika mereka membenci kita hanya karena perbedaan, mereka hanya tidak siap dengan perbedaan.

Kesalahan kita adalah ketika menyakiti orang tersebut atau melanggar norma-norma yang berlaku.

Simpelnya, kalau aku nggak suka bubur diaduk lalu dia marah, siapa yang salah?

Bandung, 4 Oktober 2024

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (1)