Sampah dan Masyarakat

Sarah N Aini
3 min readSep 3, 2020

--

Pagi ini, di tempat Ketoprak pinggir jalan di seberang Pasar, saya menunggu pesanan sambil memandangi anak penjual Ketoprak, anaknya mungkin masih berusia empat tahun, atau mungkin lebih sedikit, nggak tahu lah, saya nggak bisa nebak karena bukan petugas Posyandu. Ketika akan duduk di kursi yang sudah disediakan, sang Ayah yang sedang sibuk meracik Ketoprak meminta anaknya untuk turun dari kursi pembeli sambil menyodorkan HP, “Nih, sini ayok! itu ada yang mau duduk! sini nih, HPnya nih!” lalu anaknya berseru,
“Naaah, gitu dong dari tadi!”
“Duh, jadi bersalah kalau gini, jadinya adeknya terpaksa main HP biar nggak ganggu,” kata seorang teman saya
Si anak tersebut cukup menyita perhatian karena dia nonton video di Yutub, videonya tentang perang air di kolam renang, yang main perang-perangannya tapi bukan anak-anak, melainkan orang-orang dewasa laki-laki dan perempuan dengan pakaian renang. Saat Ibunya yang habis cuci piring menghampiri, beliau tegur tuh anaknya, “Jangan nonton yang kayak gitu ah!” sambil berlalu mengurus yang lain, dan sang anak, nggak peduli, tetap aja nonton.

Emang sih, kita nggak bisa ngatur anak orang mau nonton apa, umur empat tahun mau nonton ILC juga terserah, kita nggak berhak ikut campur, tapi melihat fenomena anak yang dibawa bekerja di jalanan, membuat saya berpikir bahwa tidak semua anak mendapatkan kesempatan diasuh dengan pola pengasuhan yang tepat, fasilitas penunjang belajar lengkap, atau waktu orangtua yang lapang. Saya kemudian menyadari,
Anak yang dibesarkan di jalanan, melihat orangtuanya berjualan mungkin tidak berani meminta belajar bersama untuk sekedar mengerjakan PR, yang ada dia akan dimarahi, atau tidak berani minta antar untuk bertemu teman, karena pasti, “Ini yang jualan siapa nanti kalau Ibu anterin kamu?”

Sebuah kesempatan belajar tidak selalu sama pada setiap anak, sehingga pola pendidikan kita yang masih di situ-situ saja menjadi lumrah untuk disebut wajar. Wajar jika masyarakat kita masih cuek saja membuang sampah sembarangan, makanya, sebaiknya kita tidak usah dulu membandingkan pola pengolahan sampah di negara maju dengan negara kita, karena orang di negara maju, kebutuhan utamanya sudah nggak bikin stroke lagi, sudah tenang, sehingga bisa memikirkan hal-hal yang lainnya seperti pengolahan sampah, mereka mengedukasi masyarakat karena masyarakatnya juga semangat belajar, pendidikan diperhatikan, tidak ada perdebatan sepele seperti pake sedotan plastik itu nggak boleh, lebih baik bawa sedotan sendiri yang bisa dipakai berulang-ulang, atau bawa tempat makan sendiri kalau mau jajan tapi malah dinyinyirin si abang siomay, mereka tidak akan lagi memperdebatkan itu, karena masalah lingkungan dan sampah terlalu sepele jika hanya sebatas sedotan stainless dan bawa tempat makan sendiri, masalah lingkungan amat luas, sehingga perlu mengedukasi masyarakatnya dulu dari akarnya, tidak bisa hanya sekedar berdebat di medsos tentang sedotan plastik.

Karena pola pikir utama kita ya cari duit, orangtua pergi cari duit, anaknya harus ngerti gimana pun kondisinya, terserah dia mau gimana belajarnya yang penting harus pinter. Akhirnya banyak jalan untuk menjadi pintar, orang berlomba-lomba mengejar gelar dan menyandang status sarjana, lalu dengan ilmu tersebut, akhirnya berani berdebat dengan ilmu yang referensinya itu-itu saja, giliran tersudutkan, saatnya laporan, di medsos bisa, lapor polisi apalagi. Bangsa kita belum terlalu terbuka dengan diskusi, karena diskusi itu perlu adab, yang mana harus betul-betul dipahami dan dipelajari sebelum kita mencari ilmu, seperti ulama dahulu, sebelum mempelajari ilmu, beliau-beliau ini mempelajari dulu adab selama 40 tahun, barulah mempelajari ilmu.

Sehingga ya sudah jelas, kita tidak usah memperdebatkan hal-hal remeh seperti sedotan plastik itu dilarang, plastik itu dilarang, yang pake plastik nggak cinta lingkungan, dan lain sebagainya yang sejenis itu, tapi mari kita fokus saja memperbaiki adab kita sebelum berilmu, agar nggak jadi bangsa sumbu kering, yang kesulut sedikit saat debat, bawaannya laporan sana sini.

Gitu.

deviantart.com

SNA

September, 2020

2/30

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet