Rindu Tak Perlu Diadu
Pekan ini ada dua kejadian yang membuat saya sadar akan pentingnya menerima semua perasaan kita.
Marah, sedih, bahagia, kesal, bahkan rindu.
Putri dari teman saya merengek ingin bertemu saya dan guru-guru lainnya sejak beberapa minggu kemarin. “Katanya, Ika pengen ketemu Bu Guru.” Ucap teman saya meminta untuk bertemu. Ika, putri satu-satunya itu kini sudah pindah ke sekolah lain sehingga harus terpaksa menabung rindu agar bisa dipecahkan bersama saat bertemu.
Sore itu, sepulang mengajar, saya bergegas ke tempat yang dijanjikan untuk bertemu Ika, tentu saja dengan beberapa rekan guru yang juga dirindukan Ika.
Saya tiba lebih dulu dibanding rekan guru yang lain, lalu bertemu Ika yang sedang menempel di pagar, menunggu kami tiba.
“Ikaaaa!! Kangen ga, sama Bu Sarah?” Teriak saya ceria,
Ika tersenyum, menyapa sebentar, lalu kembali ke pagar dan memanjangkan lehernya demi ingin melihat apakah gurunya yang lebih ia tunggu akan datang atau tidak.
Sudah berlalu lebih dari 30 menit, namun Ika belum juga bertemu guru kesayangannya.
“Ika udah siapin hadiah, hadiahnya surat sama uang dua ribu!” Cekikik ibunya pada saya, Ika memang belum mengerti uang, ia baru saja berusia 5 tahun.
Lama-lama, Ika bosan menunggu di pagar, Ika lalu menempel pada ibunya dan menangis, “Kenapa nggak dateng-dateng sih!”
Kami yang melihatnya saat itu, tiba-tiba juga sedih, teman saya yang datang bersama ke sana, juga sudah berurai air mata.
“Rindu itu nggak bisa ditahan, ya” saya berkesimpulan.
“Sabar ya Ika, sebentar lagi bu guru datang, kok. Nih, Bunda udah WA.” Ibunya memperlihatkan pesan di handphonenya.
Lalu setelah guru kesayangan Ika tiba, mereka berpelukan dan Ika duduk di pangkuannya lama sekali.
“Ika kangen, ya? Sampai ga tahan ingin nangis?” Bu guru kesayangan Ika memeluknya erat.
Sore sepulang sekolah, seorang rekan kerja dihampiri oleh putrinya, Nayla. Nayla masih berusia 8 tahun, kelas 2 sd.
“Mamaaaa kok semua temen Nay mamanya dateng, tapi mama aja yang nggak!” Nayla merengek dan bergelayut di tangan ibunya.
Nayla bersekolah di tempat kami mengajar, di sela-sela jam kosong, Nayla selalu merajuk pada ibunya.
“Nay, mama kan, lagi kerja. Kalau Nay tampil, mama usahain nonton, tapi kalau rapat, hasil rapatnya nanti mama bisa tanya ke bu guru. Gapapa ya, mama kerja ya?” Ibunya membujuk agar Nay berhenti merengek.
Bukannya berhenti merengek, Nay malah semakin kencang tangisnya.
“Nggak mau! Semua temen Nay mamanya ada! SEMUANYA ADAA MAMA AJA YANG NGGAK ADA!”
Saya hanya tersenyum dan berusaha menghibur Nayla agar ia tidak menangis, tapi Nayla tetap saja merengek, “Mama kok gituuu”
Siang itu Nayla membuat perasaan saya perih.
Begitu merasa rindu akan sosok yang kita sayangi, mungkin kalau sulit dijangkau, bisa kirimi doa, pilin doa-doanya ke langit agar sampai pada pemilik hati. Hati siapa saja, hati kita, hati orang lain yang kita rindukan, agar selalu dijaga dan diberikan kekuatan untuk terus dilapangkan atas segala keputusan. Rindu memang harus dibayar tuntas dengan temu, tapi tak perlu diadu mana atau siapa yang lebih membutuhkan itu, karena semua berhak memilikinya, semua juga berhak mengekspresikannya.
Semaunya. Sepuasnya. Dan juga, sesuai kadarnya.
Lalu, kalau ingin menangis, menangislah, tak apa.
Aku akan mendukung ekspresimu, jangan diadu dengan perasaan rindu orang lain, karena rindu ini, punya pemiliknya sendiri.
SNA
Bandung, 2 Agustus 2023