Ria Ricis, Zara, dan Pedasnya Komen Netizen

Sarah N Aini
3 min readSep 5, 2020

--

Dulu, sebelum media sosial kayak buih di lautan seperti sekarang, kalau ada gosip seputar kasus artis kita bisa tau dari TV, lagi sarapan sambil nonton berita, pas beritanya selesai muncul acara gosip,
“Ya, pemirsa! ini loh ada kabar yang lagi ramai seputar selebritis X, iih kok bisa gitu ya pemirsa?”

Tapi kalau kita baca koran atau majalah, nggak semua koran dan majalah ada berita artis tersebut yang lagi viral, paling hanya tabloid gosip yang pasti menerbitkan berita tersebut

Hal ini tentu berbeda dengan sekarang, sekarang semua media sosial pasti ramai kalau ada berita artis yang lagi viral, misalnya berita Ria Ricis yang beberapa saat lalu selalu jadi sorotan, pasti muncul di semua medsos, kalau di youtube bahkan bisa sampai trending. Atau misal kasus Zara, kita buka twitter, infonya muncul, buka IG juga muncul beritanya, buka youtube apalagi, bahkan sampai di beranda google pun infonya terkadang muncul.
Bukan cuma akun gosip yang memberitakan, dari akun humor sampai akun dakwah juga isi beritanya sama, ikut-ikut meramaikan dunia perghibahan medsos.

“Allah suka pada hambaNya yang senang bersedekah,”
terus scroll lagi ke bawah,
“Viral! artis X terjerat kasus blablabla… nomor 3 bikin kaget!”
atau
“Hape kalian canggih? coba ketuk dua kali postingan ini”

Lagi berniat cari info lain, nemu info kasus artis kan akhirnya kepo, dan berkanjut scroll berita serupa. Gimana nggak betah?

Lain halnya dengan dulu, media komunikasi yang masih terbatas dan bisa diatur penyebarannya cenderung bisa dikontrol, kita kalau nggak mau tau tentang kasus artis, yaudah nggak usah beli tabloid ghibah, kalau nggak pengen tau berita kasus korupsi politisi, nggak usah beli koran pagi, kalau pengen dapet konten agamis, tinggal duduk di masjid sambil baca buletin jumat, karena nggak mungkin pas baca buletin jumat tentang zakat tiba-tiba di halaman belakang ada berita tentang Ria Ricis

Semua media komunikasi sekarang tidak terkontrol, sehingga memudahkan netizen untuk mengumpat dan memberikan komentar sumpah serapah, hujat sampai sanksi sosial bukan lagi sekadar sanksi sosial, tapi kejahatan yang diselubungi oleh kezoliman orang yang disumpahi, dengan menyebarnya berita artis-artis atau politisi korupsi secara cepat, sanksi sosial seperti itu rasanya sudah sangat cukup membuat wajah serasa dilempari tai kucing, malu setengah mati. Sehingga kita nggak perlu repot-repot nambah dosa hasad dengan dosa perkataan buruk

Saya ingat perkataan teman saya suatu hari, “Aku tuh cuma dalem hati doang loh mikir ada orang kok bisa kayak gitu dandanannya di angkot, eh nggak berapa lama, aku dibales sama Allah, aku dapet musibah pas mau sampai rumah.”
“Hasad atau iri hati, dengki, dan sekeluarganya tuh bahaya ya,” kata dia lagi, “apalagi kalau dibagiin ke orang lain,”
Kalau hasad, kita dosanya ke Allah aja, kalau udah kita ungkapkan rasa iri itu apalagi ditulis di kolom komentar sehingga orang lain pada ngerepost, dosanya udah nambah, jadi dosa sama manusia juga, lebih ribet nanti kalau mau minta maaf, karena pasti malu pas mengakuinya,
“Maaf ya, saya pernah ngomongin kamu, pernah ngomong kalau badan kamu bau” lalu berakhir dengan saling ngeblok medsos

Kalau kata seorang influencer, nggak apa-apa kalau kamu nggak suka sama gaya pakaian seseorang, memandang rendah penampilan fisik seseorang, tapi plis, nggak usah diucapin bahkan disebarin di medsos

Ya, intinya, itu hak masing-masing mau punya dosa atau nggak, jadi nggak perlu ngajak oranglain ngisi kuota dosa juga dengan baca komentar kita

Yah, kalau nulis kayak gini, lagi-lagi sambil ngingetin diri sendiri.

kumpulan ibu gosip kutub utara, gambar dari sample pictures

SNA
Bandung, 5 bulan yang lalu, diselesaikan 3–09–20

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (1)