Review Film 2025

2nd Miracle in Cell No. 7

Sarah N Aini
3 min readJan 27, 2025

Film pertama yang saya tonton di tahun 2025 adalah Miracle in Cell ini, saya pikir, bukannya udah lama tayang ya, kok kenapa masih ada di bioskop?

Rupanya film lanjutan dari sebelumnya. Jujur saya sangat lelah dengan Falcon ini, selalu membuat versi Indonesia dari film luar negeri yang pernah hits. Dan ciri khasnya tentu saja dengan kehadiran para komika dan sentuhan komedinya. Padahal dengan aktor-aktor yang mereka miliki, terutama para komika ini, mereka bisa lebih eksplor dalam hal cerita. Bisa lebih banyak menghadirkan judul-judul baru yang lebih menarik.

Sebenarnya saya menikmati sajian komedi dari para komika yang itu-itu saja dalam film-film Falcon, namun seharusnya mereka tahu kapan harus berhenti.

Miracle in Cell pertama versi Indonesia menurut saya sudah masterpiece. Saya dibuat hancur oleh adegan-adegan Dodo dan Kartika yang menyayat hati. Saya rasa tidak perlu penjelasan mengapa Dodo bisa menikah lalu punya anak. Juga tidak perlu dikisahkan bagaimana Kartika bisa hidup sepeninggal Dodo, karena kartika sudah mendapatkan keadilan atas Dodo di akhir cerita, malah jika dilanjut film kedua rasanya seperti sinetron yang tak berkesudahan. Apalagi durasinya yang cukup lama, 2 jam lebih, membuat saya mulai bosan di babak-babak pertama.

Film kedua ini sejak awal adegan sudah banyak kesedihan yang disuguhkan, namun meski terasa sedihnya, saya tidak merasa itu benar-benar emosional. Saya hanya harus merasa sedih karena adegan itu sedih. Tidak semengalir film pertama yang secara alami mengajak kita bersedih karena alur yang memukau.

Terlepas dari itu semua, saya sangat kagum dengan pembawaan para pemain yang membuat saya lupa kalau itu semua hanyalah film. Saya merasa karakter Dodo, Kartika, serta para penghuni sel adalah karakter nyata. Saya berpikir apa mungkin kejadian seperti ini memang ada di dunia. Pasti memang ada. Namun dengan karakter Dodo yang digambarkan detail, membuat saya merasa bahwa pengembangan film ini semakin terasa. Dodo di film pertama hanya seperti penjelas alur cerita saja, namun di film kedua, Dodo disajikan dalam bentuk narasi yang jelas dan rapi. Sehingga kita merasakan kesulitan dan kesakitan yang ia alami.

Sensasi humor yang disajikan juga sangat menghibur, membuat saya seakan menonton stand up comedy mereka dalam bentuk film. Namun penyajian cerita lewat para komika ini menurut saya terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Seperti penampilan mereka di sekolah Kartika, padahal tujuannya hanya untuk Bang Forman supaya bisa bertemu Kartika karena masih ada halaman buku tentang Dodo yang belum selesai dibaca bersama. Sehingga karakter yang diperankan Bryan Domani sebagai hacker ini tidak terlalu berpengaruh karena perannya tidak sepenting ia saat di film pertama.

Lagi, yang unik dalam film kedua ini adalah tokoh antagonis yang menggantikan kepala sipir — ayah angkat Kartika, Muhadkly Acho alis Hengky, cukup kuat dengan karakter jahatnya yang konsisten, tidak ujug-ujug bertobat lalu menjadi baik dan mendukung tujuan tokoh utama. Jika kalian kesal melihat kelakuannya di film ini, saya rasa itu adalah daya tarik lainnya dari film ini.

Saya cukup mengapresiasi film ini — buktinya saya sampai datang ke bioskop — semoga perfilman Indonesia bisa lebih baik lagi walau masih banyak remake film luar.

Bandung, Januari 2025
SNA

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet