Review Film 2024:
Home Sweet Loan
Spoiler Alert!
Film yang awalnya saya kira bergenre horror ini ternyata bertemakan sosial-komedi dengan isi cerita yang berkaitan sekali dengan kehidupan kita.
Ceritanya adalah tentang seorang perempuan yang sudah bekerja di Jakarta dan tinggal bersama kedua orangtua serta dua kakaknya yang sudah berumah tangga. Namanya Kaluna, seorang sandwich generation yang harus menghidupi dua orangtuanya serta kakak-kakaknya yang walaupun sudah berumah tangga tapi masih menumpang hidup di rumah orangtuanya dan tentu saja mengandalkan Kaluna untuk hanya sekedar bayar token listrik.
Kaluna yang anaknya suka mengalah, akhirnya juga harus mengalah ketika kamarnya diambil alih oleh keponakan-keponakannya yang tidak memiliki kamar sendiri. Ia terpaksa tidur di kamar pembantu dengan kondisi kamar yang memperihatinkan, pintu kamar yang tidak bisa ditutup sehingga harus ditahan batu, keran kamar mandi yang bocor, kamar sempit yang bahkan tidak ada tempat untuk solat, kamar mandi yang tidak terawat karena bekas kamar pembantu, hingga plafon yang rubuh karena kucing berkelahi.
Kaluna jugalah yang harus bersih-bersih rumah seperti merapikan mainan bekas keponakannya sepulang ia bekerja, memasak untuk keluarganya, hingga mencuci piring bekas keluarganya.
Kedua kakaknya yang sudah berumah tangga dan memiliki anak tinggal bersama tanpa perasaan, menumpang hidup pada Kaluna termasuk sering meminjam uang tabungan Kaluna.
Fokus tujuan Kaluna adalah ingin memiliki rumah sendiri dengan tabungan yang ia kumpulkan sejak awal masuk bekerja. Gajinya yang sebesar 7 juta bisa menghasilkan tabungan sekitar 300juta. Jumlah yang fantastis bagi seorang sandwich di kota Jakarta. Bayangan saya sih dia sama sekali nggak pernah jajan dan beli kebutuhan tersier. Tapi faktanya ia punya earphone wireless dan mobil. Kaluna hidup seperti frugal living, seperti membawa bekal, tidak tergiur jajan dan tidak pernah membeli makan siang di luar karena ia selalu membawa bekal, hingga Kaluna yang tidak pernah membeli baju baru.
Tapi tetap saja menurut saya tabungan 300juta itu tidak masuk akal. Walaupun ia bekerja sebagai model lepas di sela-sela kesibukannya, angka 300 juta harus benar-benar dijelaskan secara logis menurut saya. Karena walaupun ia tidak harus membayar biaya kost, ia adalah seorang sandwich yang bahkan token listrik rumahnya dengan jumlah 10 orang penghuni harus ia yang bayar.
Keseluruhan isi film bercerita tentang perjuangan Kaluna mendapatkan rumah tinggal yang sesuai dengan DP yang ia sanggupi, lalu pergolakan batin antara harus sabar menghadapi orang rumah atau mengamuk karena ia harus selalu mengalah.
Puncak konflik adalah ketika ia harus pergi dari rumah karena kakak laki-lakinya menggadaikan sertifikat rumah mereka untuk judi online. Bahkan ketika pembayaran DP rumah idamannya harus ia relakan untuk membayar hutang kakaknya.
Seluruh isi film menguras emosi antara kesal dan sedih. Bahkan scene ayah dan ibunya membuat film ini semakin mengharu biru. Erat sekali dengan keadaan masyarakat kita yang selalu memaklumi kesalahan anak dan menimpakannya pada anaknya yang lain. Dalam hal ini, kakak-kakaknya terus-terusan menumpang dengan mengorbankan Kaluna. Sehingga ibu dan kakaknya selalu memaklumkan hal itu, “Nanti kamu juga ngerasain kalau punya anak.”
Saya menyukai karakter yang dibagun oleh penulis, tidak seperti cerita film sosial yang membuka film dengan narasi, “Nama gue Kaluna,” atau pengenalan karakter sekenanya seperti memperkenalkan kelompok pertemanan dengan karakter template, teman yang culun, teman yang gaul, dan teman yang populer, tapi untuk karakter teman Kaluna pun dibuat serealistis mungkin, ada yang sudah memiliki anak dan memiliki masalah dengan mertuanya, si boros dan fomo dengan aktifitas media sosialnya, hingga teman yang friendly. Termasuk karakter keluarga Kaluna yang dijelaskan satu per satu dalam setiap babak.
Sehingga kita mengenal karakter dan tokoh dalam film secara perlahan dalam setiap adegan sang tokoh. Tidak dijelaskan di awal seperti pengenalan lewat narasi, “Nah ini kakak gue..”
Mungkin karena segmentasinya sandwich generation yang mana usianya 23 tahun ke atas, film ini tidak dikemas dengan ceria, namun penuh dengan sinematik ala ala video kerasnya kehidupan dengan latar musik motivational penyanyi yang sedang hits sekarang. Nuansa komedi yang disajikan juga pas porsinya, disampaikan melalui dialog-dialog dan adegan dengan sederhana seperti kehidupan kita sehari-hari, tidak terkesan dipaksakan untuk humor.
Akhir film yang diharapkan penonton juga memukau, tidak klise walaupun hal-hal yang disajikan adalah kegiatan sehari-hari yang kita temui. Beberapa plot twist yang membuat kita greget juga sukses membuat film ini jadi film terbetah selama saya tonton di tahun ini. Karena sangat relatable dan tidak kebanyakan bumbu. Memang banyak hal yang mudah ditebak sih, tapi penulis bisa mengemasnya dengan baik.
Terakhir, saya acungkan dua jempol pada Derby Romero yang bisa menampilkan karakter baru dan melepaskan karakter Saddam yang masih melekat di masyarakat padahal euforia Petualangan Sherina 2 masih terasa.
Kamu generasi sandwich dan mau nonton ini? Saya harap kamu juga akan merasakan hal yang saya rasakan juga: merasa yakin bahwa apapun yang kita bayar mahal di awal, akan dibayar jauh lebih mahal oleh Allah di akhir. Tinggal menunggu saja waktunya dengan sabar.
Bandung, 7 Oktober 2024
SNA