Review Film 2024:

Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela

Sarah N Aini
2 min readMay 23, 2024

Tidak ada perbedaan yang begitu jauh antara film dengan bukunya. Jadi sah-sah saja jika ingin membaca bukunya dulu atau menonton filmnya dulu.

Buku karya Tetsuko Kuroyanagi ini memperkenalkan pendidikan inklusi yang sudah dilaksanakan di Jepang sejak masa perang dunia ke 2 karena cerita berlatar masa perang sekitar tahun 1940.

Sebetulnya saya merasakan vibes suram sejak awal adegan karena latar waktu yang mengingatkan saya pada pelajaran sejarah : Jepang mengalah pada sekutu di tahun 1945 lalu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom. Selepas peristiwa itu, pemimpin Jepang mencari berapa jumlah guru yang masih hidup karena pendidikanlah yang harus paling utama diselamatkan.

Dalam film ini kita bisa melihat banyak sekali teori pembelajaran dan bagaimana praktiknya di lapangan. Sehingga film ini tidak hanya cocok ditonton oleh guru tapi juga oleh semua orang terutama orangtua.

Karakter Totto Chan yang sangat aktif dan enerjik membuat ia tidak bisa diam sehingga diam saja di ruang kelas membuat ia jenuh dan bosan. Alih-alih berusaha fokus, ia justru sering mengalihkan fokus belajarnya pada hal random, seperti membuka tutup laci meja belajar berkali-kali, berteriak pada rombongan seni dari dalam kelas, sampai memanjat pagar dan pohon. Totto Chan sudah banyak ditolak oleh berbagai sekolah karena ulahnya, hingga berjodohlah ia dengan sekolah yang cocok dengannya, belajar di gerbong kereta bekas, di sawah dan kebun, atau pohon dekat sekolah.

Film ini selain mengajarkan kita pada cara pengajaran inklusi bahwa tidak semua siswa bisa disamaratakan dalam menerima pembelajaran juga mengajarkan kita akan arti bersabar. Sebagai orang dewasa justru kitalah yang harus memahami anak-anak karena mereka baru beberapa tahun saja hidup di dunia ini sehingga apa saja yang perlu mereka lakukan tentunya melihat perilaku kita sebagai contoh.

Adegan yang digambarkan sesuai dengan buku yang diterbitkan lebih awal, namun di akhir film justru fokusnya terpusat pada survive dalam masa perang. Memang tidak salah sih, karena kan film ini adalah sudut pandang seorang Totto Chan yang sudah menjadi nenek. Jadi bukan cerita murni tentang pendidikan inklusi dan bagaimana sistem pendidikan itu bekerja.

Poinnya adalah dengan pengajaran dan metode yang tepat, seorang Totto Chan yang dianggap penganggu di sekolah manapun ia daftar, bisa dengan bijak menghadapi kondisi perang yang mengerikan. Ia tumbuh menjadi gadis penyayang dan perhatian pada teman, keluarga, termasuk menjadi kakak yang baik untuk adiknya.

Semua itu salah satunya berkat kepala sekolah dan guru-guru di sekolah keretanya.

Film ini berbentuk animasi jepang yang memanjakan mata karena detail tempat dan kejadian digambarkan begitu apik dengan perpaduan warna yang nyaman ditonton. Kalau menurut saya sih ala-ala Ghibli. Termasuk gaya karakternya sesuai ekspektasi saya ketika membacanya. Memang Jepang tidak ada lawan kalau soal animasi.

Tentu jika anak-anak menonton ini harus didampingi, karena ada adegan mandi di kolam yang pasti menimbulkan pertanyaan bagi anak-anak yang menontonnya.

SNA

Bandung, Mei 2024

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (1)