Pendewasaan dan Lingkaran Pertemanan

Sarah N Aini
4 min readOct 24, 2020

--

Pernah nggak, ada temen yang ketika butuh kita, dia akan menghubungi kita tak henti-henti tapi ketika kita membutuhkannya dia malah susah dihubungi?

Seringkali saya dengar istilah, “Temen datang kalau ada butuhnya aja,” padahal, kadang kita juga merasa sangat dibutuhkan kalau ada temen yang nyari kita untuk sekedar curhat. Tapi emang bener sih, seringkali teman datang hanya ketika dia membutuhkan kita, tapi lupa kalau kita juga butuh mereka, eh tapi bukannya kita juga gitu ya sama Allah? dateng pas butuhnya aja.

Sudah beberapa tahun belakangan ini saya memutuskan untuk mengurangi lingkaran pertemanan, saya mempertahankan pertemanan yang ada dan memaksimalkan silaturahmi yang saya bisa. Karena mempertahankan pertemanan saja bagi saya cukup sulit daripada cari teman baru, lalu bikin geng ala-ala dan menguploadnya di sosial media karena habis ngopi sepulang ngantor. Ah, terlalu melelahkan. Bagi saya yang mudah kecewa dengan persahabatan -yang datang saat butuhnya aja- atau -lupa sama temen lama ketika ada temen baru- sampai -bikin grup yang nggak ada sayanya- membuat saya untuk mendingan membangun kepercayaan pada orang yang membuat kita nyaman berinteraksi dengannya saja. Biarin deh, kalau ada orang yang datang ketika butuhnya saja, mungkin kita memang satu-satunya orang yang bermanfaat buat mereka saat sulit, pertahankan hatimu tetap tegar jangan mudah baper!

Kenapa sih, semakin dewasa (bukan dari segi umur aja), kita semakin selektif memilih teman?
Apa mungkin karena seiring kompleksnya masalah kita, maka kita butuh orang-orang yang mau mendengarkan kita kali ya, pas kita curhat, bukannya nasihatin sambil marah-marah (walaupun ini juga perlu, tapi nanti dulu), tapi teman yang menerima perasaan kita dulu, mengkonfirmasi dan ikut merasakan kita sedang sedih, misalnya.

Seperti kata Ibu Septriana Murdiani, dalam bukunya Bahasa Bunda Bahasa Cinta, setelah mendengarkan curhatan dan luapan emosi seseorang, tugas kita selanjutnya adalah menerima atau mengalirkan perasaan. Dalam bukunya, beliau menulis kalaupun kita yang salah, tugas kita menerima dulu perasaan negatif atau positif yang keluar dari lawan bicara, “Iya, aku tau kamu sedih ya?” atau “Waaah, kamu seneng dong ya?” jangan dulu buru-buru, “Iih aku lebih parah!” sampai, “Makanya banyakin ibadah!”

Walaupun proses mendengarkan secara seksama dan menerima perasaan ini begitu sulit, tapi kalau kita berusaha, kita juga akan mendapatkan perlakuan istimewa ini dari siapa saja kelak. Makanya nggak heran, kalau Joker marah sama Psikolognya karena pas dia cerita, si lawan bicaranya nggak benar-benar dengerin dia, karena mata itu bisa berkata-kata Bos! bukan cuma ada pelangi di bola matamu.

Pernah nggak, pas kalian curhat tapi temen kalian malah buka HP atau nggak fokus, seolah ngedengerin padahal jiwanya lagi jalan-jalan. Itulah yang sering saya dapatkan juga ketika ngobrol sama teman saya yang senang cerita, giliran dia nanya pendapat saya, dia buka HP atau cepet-cepet ngomongin dirinya lagi, abis dari suatu tempat lah, mau makan apa lah, lagi kesel lah, makanya nggak heran kalau suatu hari kamu merasa nggak adil ketika kamu udah banyak cerita sama dia tapi dia nggak mau balik cerita sama kamu, karena ya kita introspeksi diri aja sih, kita kalau temen lagi cerita bener-bener ngedengerin atau cuma buat basa-basi aja? kita kan sebetulnya bisa tahu, mana orang yang sedang mendengarkan kita dan mana orang yang sekedar nanya tanpa pengen tahu cerita kita.

Mengurangi lingkaran pertemanan ketika proses pendewasaan diri menurut saya mungkin efektif, mungkin juga nggak, tergatung kebutuhan kita, kalau kita merasa pendewasaan datangnya dari sudut pandang orang lewat diskusi dan intensitas pertemuan, ya silakan, asalkan kita bisa siap menerima konsekuensi yang didapat dari manusia lainnya, ingat, kalau kita mungkin saja bisa mengendalikan diri kita, tapi kita tidak dapat mengendalikan orang lain. Salah satu konsekuensi yang didapat dari keputusan ini adalah sering khawatir kalau buka instagram,
“Kenapa sih dia temannya banyak?”,
“Kenapa dia nongkrong kok nggak ngajak?” atau
“Kenapa dia nggak like postingan aku?” pertemanan sejenis ini akan sangat berhubungan erat dengan interaksi di media sosial nantinya.

Atau jika kita memilih untuk mengurangi lingkaran pertemanan, kita mungkin jadi bisa tahu mana teman yang benar-benar ada untuk kita dan mana teman yang datang saat butuhnya saja. Tapi konsekuensinya juga tetep ada, ketika kamu mencapai sesuatu tujuan dalam hidup, salah satu temenmu pasti ada yang nyalahin, “Ih paraaah nggak cerita-cerita sama aku!” dihujat rame-rame, digosipin di belakang, atau bikin grup yang nggak ada kamunya. (Hahaha)

Kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan sosial yang baik bukan berdasarkan orang itu supel atau kuper, tapi berlaku bijak dalam memperlakukan teman. Setidaknya, sapa temen kita lewat story medsosnya (walaupun masih sulit buat saya juga untuk melakukan ini pada semua teman), tapi minimal selama kamu masih sering interaksi sama dia di dunia nyata, bentuk apresiasi berupa sapaan, komentar, atau like di media sosial bisa jadi salah satu faktor mempererat pertemanan. Tanyakan kabar dengan sopan, jangan nanya-nanya hal sensitif biar terkesan akrab aja, atau mungkin sekedar ingat hari ulangtahunnya walaupun kirim dia pesan cuma setahun sekali (Hahaha)

Salah satu yang membuat saya miris adalah ketika kita pernah memiliki sekelompok teman yang dulu begitu dekat seperti saudara, tapi kini sudah terasa asing, kayak nggak pernah kenal, saling sapa aja udah jarang, apalagi posting best moment di medsos, like atau komen postingan aja udah langka, kenapa kita bisa begitu asing dengan orang yang dulu bahkan kita tau sampai cara makannya dan caranya pakai sepatu? apakah karena udah beda kepentingan jadi terasa asing? apakah kita sudah tidak saling membutuhkan lagi? apakah persahabatan hanya sebatas kepentingan pribadi?

Mari kita renungi lagi tujuan pertemanan kita

in2english.net

SNA

Bandung, 24 Oktober 2020

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet