Pemuda, Bukan Untuk Boyband Semata

Sarah N Aini
5 min readSep 4, 2019

--

gambar dari moonlight-wordpress.com

Hari Rabu telah tiba! seminggu ini saya bingung harus nulis apa, karena sudah dua pekan ini, saya, Sara Fiza, dan Teh Nurul Maria Sisilia sedang menggencarkan produktif menulis. Kita memulainya hari Rabu dua pekan lalu, dan ini adalah pekan ketiga. Banyak sebenarnya hal-hal yang saya rekam untuk dituliskan, tapi ternyata kebanyakan hanya mengendap jadi lamunan.

Eh, ternyata beberapa hari yang lalu murid-murid SMA di sekolah saya bercerita kalau mereka sedang ikut lomba film pendek, saya lihat juga dari Fanpage sekolah kami di Facebook, yang link filmnya dibagikan di sana. Dan rupanya, filmnya sudah masuk nominasi! wuaaah, sepertinya ini bisa jadi hal menarik untuk ditulis!

Film pendek ini bertemakan Semua Bisa Pintar. Dari tema yang diusung, ide umum kebanyakan pasti berkisah tentang kehidupan anak sekolahan, eh dan bener aja sih, kebanyakan film pendeknya saya tonton tentang sekolah. Tapi setelah saya nonton film pendek mereka ini, kisah yang diangkat justru berbeda, mereka mengangkat kisah tentang Petani. Menurut saya, ini sebuah sudut pandang yang unik. Mereka mengambil sebuah sudut pandang baru di tengah pemikiran yang sudah mainstream.

Karena saya bukan pengamat film yang cihuy, saya nggak berani berkomentar panjang lebar tentang tekhnik dalam film tersebut, tapi baru saya lihat di menit pertama saja, saya kagum dengan kemampuan mereka, sementara saya dulu, bikin film alakadarnya di komunitas film pas tingkat akhir kuliah, yang sempat membuat IPK goyah, tapi mereka dengan usia yang masih muda, membuat karya seperti ini bisa dibilang keren pisan!

Nah, kemarin itu, mereka bercerita kalau ternyata karya mereka belum juara. (Ya, namanya juga perlombaan, kalau nggak menang ya, nggak apa-apa). Seperti kata tulisan Nur Faiz Ramdhani kemarin, “Pemenang dan juri dalam perlombaan karena sedang ada dalam satu kepentingan yang sama, bukan karena kita nggak bagus.”

Lalu menurut saya, karena ide yang mengambil sudut pandang yang tak biasa, biasanya idealisme, bukan mengikuti pasar. Terkadang orang sulit menerima idealisme seseorang, karena tidak lumrah di masyarakat. Makanya pas temen saya jualan Mie sehat tanpa MSG, ternyata nggak laku, karena masyarakat sukanya Mie Instan seleraku atau seleramu yang ada MSGnya. Yah, itu mah kan nggak bisa dipaksa ya?

Atau tontonan bermanfaat di channel Youtube, penontonnya sedikit dibandingkan channel Prank-prank yang sedang digemari pasar.

Sekali lagi, ini hanya masalah pilihan. Pilihan kebanyakan orang, atau pilihan minoritas orang. Bebas. Sakumaha Maneh. Hirup-hirup maneh, kan? intinya, asal kita bisa mempertahankan syariat agar tetap tegak, juga norma agar tetap dijaga.

Lalu tentang lomba yang belum dapat kategori apapun itu, saya ingat ketika pertama kali ikut lomba menulis di kampus. Saya yang saat itu sangat PD akan juara, rela menunggu pengumuman sampai malam. Padahal sampai akhir acara, nama saya sama sekali tidak disebutkan. Sedih dan kecewa sih udah pasti, kan sayanya ngarep. Coba kalau nggak ngarep, mungkin saya akan biasa saja.

Sebelumnya, saya mulai mengirim tulisan saat kelas 5 SD. Saya coba dibantu Ayah mengirim cerpen ke sebuah majalah dan akhirnya saya dapat honor beberapa ribu rupiah dari sana. Maka, dari sinilah saya bersemangat untuk tetap menulis. Walaupun ada pengalaman pahit di balik ini yang sepertinya nggak penting saya tulis.

Lalu di tahun ke dua kuliah, saya akhirnya dapat kesempatan memenangkan sebuah lomba menulis cerpen komedi di tingkatan yang berbeda, saya coba lagi ajang itu di tahun berikutnya, namun nasib saya tidak seberuntung tahun sebelumnya, di tahun selanjutnya itu saya tidak juara. Di titik ini, saya menganggap karya saya yang sebelumnya sudah bagus, maka saya seakan-akan sudah menganggap puas apa yang sudah saya kerjakan tahun lalu. Dan rupanya, ini salah besar.

Di tahun 2016, seorang senior di komunitas menulis mengajak saya bergabung di tim penulis Biografi Ibu Gubernur saat itu. Saya diundang ke Gedung Pakuan, gedung Gubernur tinggal untuk ngantor, saya tentu saja bahagia bukan main dapat project sepenting itu! saya otomatis, merasa penting. Namun rupanya, di tengah project, ketua tim memotong pekerjaan ini dan memilih membubarkan kami semua tanpa alasan yang jelas.

Di tahun yang sama, saya mengikuti audisi ‘Nulis Lupus Bareng’ jadi para penulis Lupus yang hits pada masanya (Hilman Hariwijaya, Boim Lebon, dan Gusur) mengadakan audisi penulis Lupus baru di masa kini, tujuannya agar Lupus kembali hidup, namun nyatanya setelah saya dinyatakan lolos ke babak 9 besar dan diberikan tugas untuk membuat ceritanya, panitia penyelenggara, lagi-lagi, tanpa alasan yang jelas membubarkan tim yang sudah terpilih. Lagi-lagi saya dikecewakan. Lah, suruh siapa ngarep?

Masih di tahun yang sama, saya mengirim sebuah draft novel ke sebuah penerbit impian saya sejak dulu yang buku-buku terbitannya bukan hanya dijual di toko buku terkenal, tapi juga selalu best seller. Saya mengirim di bulan Oktober 2016, kalau aturan aslinya, kita akan dihubungi 3 bulan setelahnya apakah naskah kita naik cetak atau ditolak, tapi pada kenyataannya saya harus menunggu sambil berharap selama 9 bulan, dan di bulan ke 9, atau tepatnya bulan Juni, saya dikirimi surat dari penerbit tersebut dengan kabar bahwa naskah saya resmi ditolak.

Sebenarnya, setelah dipikir ulang, alasan saya belum berhasil mungkin untuk membuktikan bahwa harapan kita pada selain Allah itu adalah sesuatu hal yang salah. Meunang henteu nyeri enya (menang kagak sakit jelas). Kemenangan atas sesuatu bisa saja menjadi alasan kita untuk merasa superior, padahal kata pepatah bijak, “Jika nama sudah melangit, hati harus tetap membumi.”

Ajang kekalahan yang lalu membuat saya juga ingat pada perkataan Raditya Dika, “Jangan anggap karya kita itu bagus, anggap karya kita kayaknya masih bisa lebih bagus dari ini, deh. Nantinya karya yang selanjutnya pasti akan lebih baik lagi.” Iya, di atas langit masih ada langit.

Kalau tugas Ibu-ibu itu adalah Nyangu (Masak nasi), maka tugas kita sebagai pemuda adalah bermanfaat. Salah satunya dengan berkarya. Bikin aja karya sesuai minat kita, bikin yang banyak, kumpul sama teman, lalu bicarakan ide dengan mereka, buat sebuah gebrakan baru, lalu kalau lelah, berhenti sejenak. Jangan biarkan ambisi menguasai kita sehingga kepala kita gaduh dengan kebisingan semu. Lihat lagi tujuan kita, apakah hanya sekedar menyalurkan hobi, ataukah ingin dapat juga rido Illahi?

Edaaaas urang nulis jiga nu bener kieu. (Kayak bener aja ini tulisan)

Terakhir, kata Bung Karno, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia!” terus kata temen saya kalau di zaman sekarang ini mungkin ungkapan Bung Karno jadinya malah, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku jadikan Boyband!”

Padahal, ungkapan Bung Karno masih berlaku, loh! tapi, harus kita yang membuktikannya! masih siap? Hayu atuh! ulah saré waé! (jangan tidur terus!)

link film: https://youtu.be/EUqYL76YCNo

SA

Bandung, 4 September 2019/ 4 Muharram 1441 H

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (3)