Mulut-mulut Harimau vs Mulut-mulut Kucing
Setelah melewati hari lebaran yang menurut saya cukup bikin culture shock dari budaya tahun sebelumnya, saatnya kita kembali ke realita kehidupan. Orang-orang mulai membicarakan ‘New Normal’ yang sedang ramai digaungkan, dibicarakan sana sini, hingga hoax bertebaran di mana mana. Selama menjalani karantina kurang lebih 3 bulan ini, saya menjalaninya dengan cukup optimis. Berita yang saya cari pada kolom pencarian google setiap harinya adalah, “Kabar baik korona di indonesia” lalu setiap ada kesempatan berkirim pesan dengan teman mengenai kapan pandemi ini berakhir, saya selalu mengatakan, “Semoga cepat berakhir, ya!” hingga saya tidak sabar menunggu bulan Juni tiba di mana prediksi awal, bulan Juni Indonesia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ya, saya menunggu bulan Juni karena ingin bertemu dengan murid-murid saya yang tahun ini akan masuk SMP. Setidaknya saya bisa bertemu mereka untuk terakhir kali, saya hanya harus bersabar selama 3 bulan ini dan membangun pesan positif dalam diri saya bahwa kondisi ini akan segera membaik.
Namun ternyata saya harus mendapat realita yang berbeda, pasien positif terus bertambah hingga puncak pertahanan saya untuk tetap optimis hancur sudah ketika melihat semua media mem-blow up berita mengenai masyarakat yang berkerumun demi membeli baju lebaran. Mungkin mereka memang salah, tapi banyak sekali yang bisa dianggap salah dalam kasus ini. Saya tidak akan menyebutnya karena sudah jelas siapa saja yang salah.
Di awal mencuatnya kasus ini, ketika Indonesia belum menemukan satu pun kasus positif, saya melihat pemandangan sehari hari ketika berjalan kaki, saya melihat, itu loh, orang yang bawa karung besar di pundaknya lalu mengaduk tempat sampah untuk mendapatkan botol plastik agar bisa dijual, lalu saya melihat ada juga orang yang tinggal di samping got dekat minimarket, dia membawa buntelan pakaian yang lusuh dan kotor. Saya saat itu hanya berpikir, gimana kalau kita dilanda wabah corona ya? protokol kesehatan harus benar dijalankan, sementara mereka boro-boro memikirkan kebersihan, hidupnya saja sudah dekat dengan sumber penyakit, sampah dan got. Apakah itu sebuah pilihan? saya rasa bukan, mana ada orang yang memilih hidup seperti itu, itu adalah sebuah keterpaksaan, bagaimana caranya ia dan keluarganya makan hari itu. Saya betul-betul khawatir dengan mereka jika Corona benar-benar melanda negeri.
Lalu pandemi benar-benar melanda negeri, protokol kesehatan digaungkan, pekerjaan dilakukan di rumah, hingga akhirnya ketika masyarakat yang penghasilannya harian melihat dapurnya kering kerontang, melihat kesempatan petugas tidak sedang berjaga, mereka nekat berjualan, apalagi orang-orang yang hidup di jalanan tadi, sudah pasti masih berkeliaran dengan masker lusuh yang entah berapa lama tidak diganti.
Pada akhirnya pertahanan saya untuk tetap optimis hancur sudah, apalagi ketika beberapa teman mematahkan semangat saya ketika saya yakin bahwa keadaan bisa jadi lebih baik dan saya bisa segera bertemu murid-murid saya. Semua media juga begitu, hanya menampilkan berita buruknya ketimbang berita baik, hingga masyarakat sudah tak lagi optimis, ya sudah, karena nggak tau sampai kapan, ya saya keluar aja, jualan, mudik, dan keliaran beli baju lebaran. Ya mungkin seperti itu pikiran yang mengisi masyarakat kita.
Lalu sekarang sedang ramai orang membicarakan herd immunity dan new normal. Ketika membicarakan itu, saya tanya pada salah satu teman, apakah herd immunity dan new normal itu sama? rupanya ia juga tidak tahu persis jawabannya, begitu pun orang orang yang membicarakan new normal ini, mereka pun tidak tahu persis apakah keduanya sama. Semua punya frame yang berbeda tentang keduanya. Tapi Indonesia ramai dengan pro dan kontra, saya penasaran, apakah kita sudah bisa menentukan pro dan kontra sementara pengertian sebuah keputusannya saja masih mengambang, tidak semua orang paham apa yang sedang dibicarakan.
Maka mulut-mulut harimau beradu dengan mulut-mulut kucing, yang merasa besar dengan pendapatnya bisa mengaum lebih kencang, bahkan membuat keputusan atas kepentingan golongannya sendiri, sementara yang memiliki pendapat dengan alasan yang belum diterima hanya mengeong dengan takut takut. Pada akhirnya ini hanya akan menjadi pro dan kontra yang tak berkesudahan.
Mungkin dunia yang kita tempati saja yang salah, atau mungkin, sepemahaman saya, pendidikan kita yang belum menyeluruh. Dalam sehari murid di sekolah umum bisa dapat 5 mata pelajaran berbeda namun sedikit pemahamannya. Belajar banyak tapi paham sedikit-sedikit, jarang sekali sekolah yang menyajikan fasilitas berdiskusi dan bertukar pendapat hingga pikiran itu berkembang dan meluas. Guru terkadang tidak menerima pendapat murid yang bersebrangan dengannya. Sehingga pemahaman kita akan satu hal hanya menurut pendapat orang saja, kita menunggu diberitahu mana pengertian yang benar tidak menggali sendiri dan mengembangkan nalar kita.
Yah, sudahlah, saya bisa bilang kalau sebetulnya saya masih optimis dengan negeri ini, namun ketika semua orang berkata dengan nada pesimis, saya bisa apa?
Bandung, 4 Syawwal 1441 H
27 Mei 2020