Mencari Kitab Suci ke Barat
Apakah masa kecil kalian adalah masa kecil yang senang nulis buku harian?
Waktu SD saya seneng nulis buku harian. Buku harian lucu-lucu yang ada gemboknya, atau gambarnya lucu-lucu kayak Hello Kitty atau Doraemon, padahal kini setelah banyak fakta beredar, Hello Kitty itu aslinya horor.
Nulis buku harian nggak usah dibayangin nulisnya sambil tengkurep di atas kasur dengan lampu tidur lucu-lucu sambil meluk guling dan senyum-senyum najong, itu mah cuma ada di drama-drama. Nulis buku harian gayanya bisa macem-macem, dulu saya nulis buku harian sambil jongkok di depan Ibu saya jemur baju, kertasnya kadang kena air jemuran yang netes, atau nulis buku harian sambil mojok depan TV saat acara masak-masak Ibu Sisca Soewitomo (Eh gila, saya tua banget ya tontonannya Ibu Sisca), atau paling ekstrem nulisnya di dapur sambil ngintilin Ibu bikin sarapan. Bisa juga nulis habis dari WC lalu merasa baru dapat ide langsung nulis dengan semangat.
Isi buku harian anak kecil ya paling gitu sih, nggak ada yang spesial. Isinya cuma kegiatan hari ini diisi dengan jajanan apa aja, si x ngomongin di belakang, atau saat didorong temen-temen uji nyali di WC sekolah. Kadang yang paling ekstrem, ketika lagi sebel sama temen, buku harian justru jadi tempat ngeghibahin temen itu. Astagfirullah, jangan ditiru ya ughtea!
Seneng aja rasanya bisa nulis sebahagia itu tanpa harus ada beban dari guru. Itu sebuah hobi yang asik, pada zamannya.
Hal ini saya lakukan sampai SMP. Di bangku SMA, saya mulai gaul, saya seolah mengetahui setelah mencari kitab suci dari Barat bersama Sun Go Kong, kalau ternyata menulis bisa juga versi digital. Akhirnya saya mulai ngeblog di tahun 2009, blog pertama saya aneh dengan kesotoyan ala remaja pada zamannya, temanya Pink unyu-unyu dengan nama blog yang nggak niat: Blog Sayah
Blog Sayah ini, isinya nggak jelas, karena bikin blog ini dari hasil ikutan kumpul blogger yang bahkan saat itu saya nggak punya blog. Blog sayah ini saya bikin pake Blogger dan bikinnya pun di Warnet. Jadi kalau mau unggah tulisan, setiap weekend saat libur sekolah saya pergi ke Warnet hanya untuk unggah tulisan. Seniat itu. Sekarang mah boro-boro, dapet waktu libur mendingan dipake tidur lah, atau makan Indomie. Hingga akhirnya, Blog Sayah kena hack dan saya nggak bisa lagi posting di sana. Blog sayah disakiti dengan ditempeli iklan sedemikian rupa oleh oknum tak bertanggung jawab.
Lanjut dari Blogger, saya pake Wordpress, tapi setelah mencoba dan ternyata Wordpress nggak terlalu asik bagi saya, di awal-awal kuliah saya bikin lagi Blogger setelah sebelumnya seneng nulis di Catatan Facebook. Akun Blogger ini masih bisa diakses sampai sekarang dengan nama alay yang dulu menurut saya keren: Alizarin Sirius yang merupakan perpaduan nama Kimia dengan Astronomi, dengan tema bintang-bintang galaksi padahal setelah sekarang dilihat lagi, itu alay juga karena sok-sok pengen bikin tema ala-ala galaksi.
Di tahun pertengahan kuliah, saya kemudian mulai bikin akun Tumblr dengan nama yang nggak kalah najong: Lantunan Surili. Surili adalah panggilan untuk salah satu jenis Primata yang suaranya melengking bikin sakit telinga. Absurd sekali otak saya. Emang.
Akun Tumblr ini asik banget, kita bisa ngereblog tulisan orang lain dan bisa bales-balesan komen, chattingan, unggah Quotes, dan fitur lainnya yang cihuy. Wah, sebuah kemajuan baru untuk sebuah platform nulis, pikir saya. Eh tapi setelah berkecimpung lumayan lama di Tumblr dan menyadari kalau di sana banyak seleb Tumblr, saya juga jadi haus akan love dan reblog untuk tulisan yang saya unggah. Kayaknya kok udah nulis niat banget tapi nggak ada yang respon tuh sakiit, gitu. Saya jadi haus akan popularitas, hati saya berontak ingin ikutan jadi seleb Tumblr. Najong sekali mimpi saya saat itu. Nah, semakin canggih teknologi, rupanya membuat saya mengubah tujuan saya dalam menulis. Ini yang bahaya. Saya berharap banyak pada followers di Tumblr biar mereka suka tulisan saya. Kadang ketika nulis sekenanya, tapi jumlah love banyak, saya merasa dikipasin buat terus nulis lagi. Kalau lagi sepi yang minat, saya jadi males nulis.
Tumblr akhirnya dibanned pemerintah karena banyak mengandung unsur pornografi. Saya cukup stress karena tulisan-tulisan saya yang udah banyak nggak bisa diselamatkan.
Namun sebelum saya benar-benar meninggalkan Tumblr, saya diajak dua orang teman nulis di blog keroyokan kayak main Karambol. Kita membuat sebuah blog untuk unggah tulisan kita bertiga secara bergantian tiap harinya. Nama blog ini seolah kita orangnya asik se-Bandungeun: 3Kengkawan. Tapi karena ada platform yang lebih asik, salah satu teman menyarankan pakai Medium dan membuat Publication khusus tulisan kita di sini (Klik di sini). Saya pun nulis bulak-balik kayak angkot jurusan Dago — Kalapa. Kadang nulis di Tumblr, kadang di Medium. Hingga pada akhirnya Tumblr benar-benar lumpuh total, saya sepenuhnya pindah ke Medium.
Medium tidak jauh berbeda dari Tumblr, cuman sih menurut saya medium ini memang lebih cihuy. Artikel-artikel yang bermunculan beragam, sama halnya seperti di Tumblr, tapi di sini banyak sekali artikel yang menarik sekaligus berbobot. Fiturnya beragam dan unik. Wah, saya betah berlama-lama di sini, sampai saya merelakan menghapus aplikasi Instagram demi menginstall aplikasi Medium di HP saya.
Rupanya, ketika lagi asik-asiknya sama Medium, Tumblr bisa lagi diakses dan tulisan-tulisan saya bisa selamat. Saya menyalin beberapa tulisan dari Tumblr ke sini atau saya pindahkan ke Word. Maaf Bler, kamu gak terlalu asik lagi!
Setelah lelah sekali dengan banyak platform menulis, saya menemukan bahwa, bukan pada sebuah platform tulisan kita berlabuh, namun pada tujuanlah tulisan kita berlabuh.
Tujuan menulis untuk apa sih? mungkin saya juga menjadi rendah semangat ketika tulisan saya di Medium tak ada satupun yang baca. Tapi toh, tujuan menulis saya sejak awal sekadar menyalurkan hobi, ya biarlah ini mengalir dengan tetap seperti itu. Menumpahkan semua isi kepala ke dalam tulisan yang mungkin saja bisa bermanfaat bagi saya di kemudian hari. Sukur-sukur bisa bermanfaat bagi orang lain. Tanpa memikirkan berapa orang yang merespon tulisan kita, berapa banyak yang menyukai tulisan kita, atau seberapa sering tulisan kita dibagikan ulang. Menulis dengan meluruskan tujuan awal tanpa ingin dilihat. Ya, saya harus sering meluruskan niat itu.
Saya jadi ingat ketika beberapa tahun yang lalu sepupu saya meninggal, setelah dia pergi, saya kepoin Twitternya dan saya menemukan postingan dia yang membuat saya terenyuh karena pesan kebaikan yang dia tulis. Setelah membaca twit dia itu, saya jadi semakin yakin kalau saja kita sudah tak ada lagi di dunia, kita masih bisa diselamatkan oleh amal-amal yang tertinggal lewat tulisan kita. Ketika orang lain membagikannya kembali lalu jariyah mengalir kepada kita, bukankah itu sebuah kebahagiaan?
Seperti di zaman khalifah Utsman yang membukukan Alquran hingga bisa kita nikmati manfaatnya sampai sekarang, lalu pahalanya mengalir walaupun beliau sudah tiada, sehingga sebetulnya nggak perlu repot-repot ikut Biksu Tong Sam Chong dan Patkai bertarung demi mencari kitab suci ke Barat diiringi Sun Go Kong kan?
Saya ingat sebuah pesan seseorang yang saya lupa siapa yang mengatakannya, “Penulis itu panjang umur, karena meski dia mati, dia tetap hidup dalam tulisannya. Dia abadi dalam kata-katanya.”
Saya sangat setuju.
SA
11 Agustus 2019/10 Dzulhijah 1440H