Mari Sama-sama Kita Tertawakan Hidup Ini

Sarah N Aini
8 min readMay 2, 2019

--

Menikmati Akhir Pekan-Aan Mansyur

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.

Puisi ini enak didenger lewat anchor.fm/sarafiza

Beberapa waktu kemarin, saya dan murid SMA di sekolah pergi ke Ujung Kulon.

Selain perjalanan yang memakan waktu lebih dari 18 jam untuk sampai ke sana, saya banyak sekali menemukan hal baru, bahwa hidup yang kita ciptakan dengan serius ini, dengan berbagai macam citra diri agar diterima banyak orang, terkadang harus berbelok sebentar untuk menjadi diri kita yang sesungguhnya.

Kita mungkin juga harus menertawakan diri kita sendiri.

Awalnya, dalam perjalanan ini saya sangat serius. Saya mempersiapkan semuanya agar saya dan murid-murid yang harus saya dampingi berjalan lancar sesuai dengan harapan.

Tapi sejak awal, saya melihat sebuah fenomena alam yang tak biasa. Saya mendapati Kepala Sekolah SMA itu memakai sarung dengan ransel besar di punggungnya dan topi di kepalanya.

“Ah, si Bapak ini abis solat asar. Nanti juga pas ke Terminal mah dicopot sarungnya.” Saya dan batin saya berdebat saat itu, mana mungkin ada bapak-bapak, kepala sekolah, dan disegani murid-muridnya, pakai sarung ke Terminal.

Ternyata, sarung yang beliau kenakan tetap bertahan sampai Terminal Leuwipanjang. Saya berusaha menyadarkan diri saya bahwa yang ia kenakan adalah sarung, iya sarung buat kamu para lelaki jumatan atau ngeronda, atau buat kamu yang masih anak-anak, ini beneran sarung buat nutupin kalau abis disunat. Ini sebuah sarung betulan!

Saya masih berpikir kalau mungkin di perjalanan menuju Serang nanti, sarung akan berganti-mungkin capnya gitu yang ganti, asalnya Cap Mangga jadi Wadimor, atau Cap Gajah Duduk.

Namun ternyata, sarung ini tetap dipakai bahkan sampai kita tiba di Ujung Kulon.

Di sisi lain ketika batin dan diri saya terus berdebat apakah sarung ini akan dipakai terus atau pada akhirnya akan diistirahatkan di dalam ransel, murid-murid malah kayaknya biasa aja, paling sindiran-sindiran di awal kepada Bapak Kepsek itu dan ditimpali dengan tawa yang bahagia oleh Pak Kepsek.

Dan orang-orang yang melihat rombongan kita di dalam terminal atau di dalam bis, sepertinya biasa saja. Mereka hanya melihat sekilas lalu kembali mengurus urusannya masing-masing.

Pelajaran pertama : “Kita bisa saja terus mengkhawatirkan penilaian oranglain terhadap kita, namun sebenarnya oranglain tak peduli. Mereka mengejar capaiannya masing-masing, sementara otak kita berpikir tak habis-habis tentang apa yang mereka pikirkan tentang kita.”

Perjalanan yang masih panjang, membuat kepala saya agak gimana gitu ya. Kayak ada ibu-ibu qoshidahan menari-nari di kepala saya kayak di iklan Ramayana. Akhirnya saya memutuskan menutup mata semoga ibu-ibu qoshidah ini pulang saja dulu, nanti kembali lagi pas Ramadan.

Tapi telinga saya tetap aktif mendengar, seperti temen saya tuh, dia kalau tidur telinganya akan sangat aktif kalau ada orang yang ngomongin dia, begitu kedengeran kita ngomongin dia, dia langsung bangkit dan teriak, “Heeeeg siaaah, ngomongkeun urang!” (Hayolooh, ngomongin guee!)

Telinga saya masih aktif mendengar sementara mata saya terpejam. Saya mendengar ada seorang anak yang sejak 5 jam yang lalu tak berhenti bercerita, berbicara apa saja yang ada di kepalanya sambil tertawa-tawa, saya senang mendengarkan mereka seperti itu, seperti mendengar teman-teman saya dulu, ngalor ngidul sepanjang perjalanan tanpa mikir mungkin besok harus pergi ke kampus dan bimbingan skripsi lalu skripsinya dicoret-coret kayak buku gambar.

Saya juga mendengar seorang anak yang mengobrol dengan kakak kelasnya, mereka membicarakan Neraka. Seolah-olah perjalanan yang jauh ini juga sekaligus ajang muhasabah bagi saya. Mereka berbicara tentang orang-orang di neraka setelah sebelumnya mereka membangunkan teman-temannya untuk solat subuh di dalam bis.

“Di Neraka kan, tanahnya subur.” Kata seorang di antara mereka.

“Kok subur?” tanya yang satunya. Saya menganggap pembicaraan ini kayak lagi tawar menawar jual beli lahan.

“Iyalah, kan dipakai pembakaran manusia, manusia kan ada unsur hara, ada mineral, ada banyak zat yang bisa bikin subur tanah.”

“Eh iyaya, bener juga!” kata orang yang kayak lagi nawar tanah tadi.

Tadinya saya mau nimpali, “Jadi nanti di sana rencana mau beli berapa hektar?”

Mereka membahas hal-hal yang bahkan saya sendiri nggak pernah kepikiran, membuat saya juga berpikir kalau dunia ini sementara, neraka itu benar-benar ada, penghuninya dibakar sedemikian rupa dan bahkan dalam Alquran diceritakan para penghuninya diberi makanan amat sangat tak layak sementara tanahnya bisa saja amat subur untuk ditanami sesuatu?

Wallahualam (untuk yang ini, jika ingin dikaji, lebih baik sama orang yang ahli di bidangnya dan paham ilmunya)

Pelajaran kedua :

“Mungkin kita sering lupa mengingat seberapa banyak dosa kita dan seberapa besar azab di Neraka karena kita selalu mempertanyakan hal kurang penting, daripada mempertanyakan pada diri sendiri seberapa banyak dosa kita, kita lebih sibuk mempertanyakan pada teman, ‘Mabar Yuk?’ ”

Hal-hal lain yang perlu ditertawakan adalah kesungguhan kita atas pencapaian sesuatu, namun tak berhasil. Lalu kita tetap mencoba jalan lain dan akhirnya mendapat pelajaran darinya. Kita benar-benar perlu tertawakan diri kita sendiri, karena kesombongan kita kemarin yang merasa bahwa semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana kita padahal akhirnya kita kecewa karena berharap pada manusia. Iya, kita selalu membercandai diri kita sendiri seperti itu. Maka kita perlu sesekali tertawa.

Kemarin itu, kami berjalan menapaki hutan di malam hari di Ujung Kulon sana, ada yang bercanda sepanjang perjalanan, ada yang fokus melihat pemandangan walau gelap, ada juga yang ketakutan. Kita sudah diberitahu bahwa kita akan tetap baik-baik saja karena kan, ada Allah. Namun manusia seringkali lupa. Belum separuh perjalanan, hujan deras turun mengguyur. Walau sebaik-baik pelindung adalah Allah, tapi kami membutuhkan payung dan Jas hujan juga sebagai pelindung. Tapi ada juga anak yang berjalan saja tanpa payung, lalu saya meyakini dua hal: hal pertama, dia mungkin tidak bawa payung atau jas hujan, dan hal kedua: dia benar-benar mengaplikasikan sebaik-baik pelindung hanyalah Allah.

Padahal memang, kenapa ya kita takut pada hujan? sampai harus berlindung segala? hujan kan, rahmat.

Kami mungkin terlalu jumawa saat itu sehingga Allah membuat kami tersesat di tengah hutan, malam hari, dan hujan deras. Namun rupanya kami harus belajar banyak hal, bahwa di tengah kesulitan, Allah akan menguji seberapa besar kita tetap peduli pada orang lain.

Sejak perjalanan pulang dari hutan sebelum hujan turun, ada seorang anak dengan kaki terluka dan ketakutan karena gelapnya hutan, menjadi bangkit dan menolong temannya yang sakit saat hujan turun dengan deras ketika kita tersesat. Ada juga anak yang terus menghibur dengan candaannya ketika kita semua mulai panik, ada anak yang merelakan handphonenya basah demi untuk menerangi jalan dengan senternya.

Lalu ada anak yang akhirnya minum air yang menggenang di atas jas hujannya, mungkin karena haus atau karena itu satu-satunya eksperimen yang ingin diuji di tengah hutan tentang bagaimana rasa air hujan yang jatuh ke atas ponco dan jas hujan.

Pelajaran ketiga :

“Allah memberikan kita pilihan di antara banyak pilihan saat ujian. Dan pilihan paling baik untuk dipilih saat ujian datang adalah kesabaran. Sabar memang berat, tapi buahnya sangat nikmat.”

Rupanya hidup yang masih harus ditertawakan adalah kenikmatan yang terlalu banyak kita dapatkan. Ketika kita terlalu serius mengejar sesuatu, kita lupa bahwa rencana kita tidaklah selalu sejalan dengan rencana Allah.

Oh iya, Bapak Kepsek ini sebetulnya memang pakai celana selutut, tapi mungkin karena Bapak ini penganut ‘Sarung is my life’, jadi sarungnya selalu nempel.

Selain Bapak Kepsek tadi, ada juga seorang bapak guru yang menurut saya amazing sekali! setelah diguyur hujan sambil tersesat di malam hari, beberapa anak kedapatan HPnya basah bahkan salah satu anak HPnya tidak bisa menyala. Padahal dia ingin sekali main PUBG, eh maksudnya, padahal dia ingin sekali menghubungi orangtuanya. Akhirnya beberapa waktu kemudian ketika semua orang sedang mempersiapkan ransel untuk pulang, anak tersebut memegang sebuah HP keluaran lama,

“Loh, kamu bawa HP dua?” Saya tanya

“Nggak, ini saya beli HP dari Pak Amazing!” Kata dia senang “Pak Amazing bawa HP tiga! saya beli satu, deh!” HP yang dia beli sejenis HP keluaran lama yang hanya bisa telepon dan sms.

Wah, keren banget ini Bapak, bisa sambil jualan HP di tengah kekalutan. Solusi terpecahkan karena persiapan yang matang. Mungkin saja si Bapak Amazing ini sengaja bawa 3 HP untuk jaga-jaga, atau emang jangan-jangan beliau buka konter di rumahnya.

Sampai ada juga anak yang isi ranselnya kayak Alfamart, lengkap. Dari mulai piring sampai peniti dia bawa.

Pelajaran keempat:

“Semua persiapan kita di dunia untuk sebuah urusan, jika persiapannya matang dan lengkap, maka selain akan bermanfaat untuk kita juga akan bermanfaat bagi oranglain. Mungkin pas kita bawa obat sakit perut kita bisa jadi tidak sakit perut, tapi ketika oranglain membutuhkannya, maka itu tetap bermanfaat.”

Perjalanan pulang yang memakan waktu lebih dari 18 jam juga membuat kami mempersiapkan segala sesuatu agar tetap nyaman di perjalanan. Kami menaiki perahu selama 3 jam untuk sampai ke Desa Sumur, nanti di sana kita akan kembali naik kendaraan dengan waktu kurang lebih 4 sampai 5 jam sampai di terminal Serang. Setelah itu, lanjut pakai bis menuju Bandung. Anehnya, ada seorang anak yang terus saja berdiri selama di perahu tanpa berbicara sedikit pun, tanpa mengunyah, tanpa menelan makanan atau bahkan tanpa minum apapun. Ditanya nggak jawab, dibecandain nggak respon. Ini kenapa ya, setiap naik perahu dia begitu?

“Hei, kamu kenapa setiap di perahu begitu terus?” Saya tanya ketika sudah turun dari Perahu.

“Saya ya cuma menikmati laut aja, Bu.” Saya cuma manggut-manggut dan berpikir bahwa di dunia ini bukan saja ada penikmat senja dengan kopi dan musik Indie, tapi juga banyak jenis manusia yang senang berpikir, seperti anak tadi yang ternyata penikmat laut dalam kesunyian yang ia ciptakan sendiri.

Nyatanya, belum separuh perjalanan, kita semua harus turun dari kendaraan karena ternyata kedua ban depannya bocor. Kendaraan ini sering disebut orang-orang “Elf” yang setelah beberapa kali saya coba selalu menggoncang batin saat menaikinya. Supir Elf ini entah sudah dilatih semua atau disamakan ideologisnya dalam menyetir, saya tak tahu persis tapi yang jelas, semua supir Elf ini jika berkendara bisa saja menyamai kecepatan cahaya, cepat dan hampir nabrak-nabrak.

Dan anehnya lagi, di tengah-tengah kekalutan dan keseriusan seperti ini masih saja ada anak yang bercanda,

“Eh, kamu pernah nggak punya temen anak pantai, Pas Presiden bikin Jalan Tol, malah jadi anak jalanan?”

Iya, percayalah itu sebuah candaan yang membuat saya berpikir, teman-temannya berpikir, dan semesta berpikir kalau lucunya sebelah mana. Kami akhirnya tertawa bukan karena menemukan kalimat tadi memang lucu, namun karena dia bisa berpikir cepat membuat lelucon di saat seperti ini.

Banyak hal yang saya pelajari sehingga tulisan ini udah kayak cerpen. Karena ternyata, setelah perjalanan pulang kembali dilanjutkan, ada seorang anak yang ikut pake sarung.

Saya yakin, untuk ukuran remaja seperti mereka, pakai sarung dalam perjalanan sangatlah ribet. “Karena Bapak Kepsek pake sarung, oh yaudah gapapa ada temen, saya pake juga.” mungkin gitu kali ya. Terus Bapak Kepsek selama perjalanan pulang ngepang rambut anak bersarung tadi. Duh sungguh itu sebuah fenomena alam yang menarik. Belum lagi, saat pagi hari, saya mendengar mereka bercerita kalau Bapak Kepsek dan seorang murid berebut bantal. Entah siapa yang menang dalam perdebatan itu, yang pasti netizen selalu lebih heboh saat menyaksikan debat.

Kita sebagai orang dewasa yang sudah menganggap serius semua hal, menghilangkan sifat kekanakan alami kita dan serius membangun citra. seringkali kita lupa, bahwa kebahagiaan yang selama ini kita cari hanyalah tinggal menjadi diri kita sendiri, lalu menertawakan diri sendiri dari kejujuran yang seharusnya kita munculkan. Maka, anak-anak pun akan lebih terbuka pada kita dan tentu saja, ikatan persahabatan antara orang dewasa dan anak-anak, bisa dengan mudah terhubung.

Saya benar-benar harus belajar lagi banyak hal.

SA

Hari Pendidikan Nasional, 2019

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet