Mari Sama-sama Kita Tertawakan Hidup Ini (2)
Hari itu kami harus menghadiri acara pernikahan seorang guru di sekolah kami, maka kami bergantian meninggalkan sejenak kelas dan isinya untuk menunaikan kewajiban itu. Demi untuk menghormati acara sakral itu, tentu saja kami tak bisa hanya pakai sendal jepit kumal penuh debu dan lumpur serta kemeja lapangan bau matahari habis berkegiatan di lapangan, setidaknya, kami memakai pakaian terbaik versi kami masing-masing. Tapi karena kebiasaan kami yang kata orang sih kayak orang gunung, ke mana- mana pake ransel, ya apa mau dikata, mungkin itu sudah bakat, serapi-rapinya pakaian untuk hadir di acara pernikahan, tapi ransel yang dibawa nyatanya tetap segede gaban, ya sudah.
Saya dan rekan saya yang di dalam foto ini tertawa-tawa melihat betapa lucunya apa saja yang dia kenakan. Menurut saya sih, itu lucu. Lalu diaminkan oleh rekan saya ini dan persepsi kami akan hal lucu itu sama, kami sefrekuensi.
Bayangkan kalau saya ketawa sama orang yang nggak menganggap hal ini lucu? ya saya paling akan tertawa sendiri dan merasa jadi orang aneh. Simpel saja kan?
Seni hidup itu hanya untuk mencari siapa saja yang pas untuk kita ajak tertawa bersama, mencari hal-hal lucu di antara hal serius yang amat banyak di dunia ini untuk ditertawakan
Lalu kami dapat kesimpulan dari hal lucu itu untuk kami gunakan hikmahnya dalam kehidupan selanjutnya
Bicara tentang hal lucu untuk ditertawakan, di tahun pertama saya kuliah, saya ditempatkan di sebuah asrama bersama dengan orang-orang aneh, mereka melakukan apa saja yang mungkin tidak akan dilakukan manusia pada umumnya, lalu mereka menertawakan diri mereka sambil mengenang itu semua
Awalnya saya yang sangat serius sekali menjalani kehidupan ini berpikir, “Kenapa sih saya harus tertawa? apa sih manfaat mereka melakukan hal aneh lalu mereka tertawakan?”
Hingga pada akhirnya mereka menjejali saya dengan ideologi mereka itu, saya lalu terkontaminasi. Kami lalu melakukan apa saja yang membuat orang lain berpikir kalau kami aneh, lalu kami tertawa bersama. Hingga setelah seluruh ideologi itu menjalar di tubuh dan pikiran saya, saya menjadi orang yang mudah sekali membawa hal-hal humor di setiap kesempatan.
Humor saya jadi anjlok, saya menjadi orang yang mudah melihat sisi humor dari setiap sisi kehidupan. Saya menjadi cengengesan dan berpikir kalau orang lain mungkin akan ikut tertawa bersama saya. Saya yang awalnya hanya mengubah prinsip, Saya terlalu sering ditertawakan, maka kini saatnya menjadi, Mari tertawa bersama-sama, membuatnya menjadi benar-benar prinsip hidup yang selalu saya jalani. Membingungkan sekali ya?
Selama kuliah, saya menjadi pribadi yang seperti itu. Menjadi orang yang dianggap asik karena senang bercanda, humor saya betul-betul anjlok, hingga dicap orang gila oleh teman-teman. Ideologi teman-teman saya di asrama akhirnya membuat saya berpikir kalau hidup ini indah sekali, bersyukur bisa dilihat dari apa saja yang kita ungkapkan, salah satunya yang indah adalah melalui tawa.
Namun setelah lulus kuliah, dunia nyata semakin terlihat jelas di mata saya, seolah Godzila yang sudah terlihat meraung dari kejauhan, saya sudah merasakan auranya saat itu. Dengan prinsip yang sama seperti dulu, di mana sisi humor bisa menyelamatkan, saya tetap mempertahankan hal itu. Saya bertarung di dunia nyata dengan bekal-bekal bayangan saya sendiri.
Dan rupanya, mencari teman tertawa di dunia nyata tidaklah seindah saat di kampus, di dunia kampus, semua orang masih dengan tamengnya masing-masing, mereka masih membungkus dirinya dengan kekuatan sedemikian rupa agar tetap bertahan, lalu setelah lepas ke dunia nyata, cangkang-cangkang pelindung itu lepas dengan sendirinya dan kita harus bertahan hidup dengan jutaan manusia serius yang bertebaran di luar sana. Tanpa cangkang lagi.
Sehingga, hal-hal yang saya anggap lucu, di mata orang lain bisa saja menjijikan, hal-hal yang saya tertawakan, bisa saja di mata orang lain menyedihkan
Saya kemudian kesulitan mendapatkan teman tertawa lepas seperti dulu, berbuat hal aneh lalu kita tertawakan bersama, seperti membeli koran bersama seorang teman dengan naik bis dari Ujung Berung ke Soekarno Hatta, lalu tertidur di bis hingga luntang-lantung bersama beberapa helai koran di malam hari karena kehabisan bis pulang.
Di dunia nyata sekarang, hal-hal seperti itu sangatlah tidak penting, kita hanya perlu membuka berita online atau mampir ke penjual koran terdekat sepulang kerja. Karena orang-orang di dunia nyata seperti sekarang ini, tak memiliki banyak waktu untuk menertawakan hal-hal bodoh atas perbuatan aneh yang dilakukan oleh diri sendiri.
Saya sekarang meyakini bahwa untuk bisa menertawakan kehidupan, haruslah dalam kesunyian diri kita, dalam isi kepala kita sendiri, menertawakan hidup kita tanpa mengajak orang lain bersama-sama
Karena ketika berada di tahap ini, untuk bisa tertawa saja, seseorang butuh alasan, “Ketemu dong yuk! pengen ketawa-tawa lagi nih.”
atau hal-hal yang bagi mereka lucu, tapi ternyata mengorek luka pada hati kita. Iya, rupanya kita sendiri juga sudah sama dengan orang-orang di dunia nyata lainnya.
Jadi, mungkin saya akan mencari beribu alasan untuk menertawakan diri saya sendiri tanpa mengajak orang lain terlibat secara sengaja, saya akan menertawakan itu, memahaminya, mengambil hikmahnya, dan semoga, bisa saya manfaatkan di kemudian hari. Minimal untuk saya sendiri.
Dan saya tidak menyangka kalau saya akan berpikir serumit ini untuk bisa tertawa.
Bandung, ketika sebuah kesemrautan pikiran yang bermacam-macam datang berkunjung,
SA
Ditulis 7 Agustus 2019/ 6 Dzulhijah 1440 H
Diperbaiki 21 Agustus 2019/ 20 Dzulhijah 1440 H