Munculnya Wibu dan Kpopers di Indonesia

Sarah N Aini
4 min readMar 4, 2021

--

Dulu sewaktu SD, kakak saya pernah makan nasi panas dicampur air panas.
“Ih, apaan itu?”
“Ini Chazuke, makanan jepang!” ibu saya bergidik jijik, seperti halnya liat orang makan nasi pake bubur ayam

Rupanya, kakak saya yang seneng baca komik, melihat makanan jenis itu di komik dan langsung mempraktikkannya. Menurutnya sih lumayan enak, tapi tetep aja nggak biasa di lidah Indonesia apalagi lidah sunda. Ada lagi adik saya yang coba bikin telur dadar gulung kayak di anime, atau beli toppokki — ciloknya korea — sampai jajangmyun — kayak mie dikecapin doang — yang jelas-jelas lebih enak Indomie menurut saya.
Pernah juga, karena kebanyakan nonton drama, temen kosan saya makan mie pake panci — pancinya dia bawa ke kamar — panci buat masak sayur itu loh! yang pantat pancinya gosong, atau pilihan restoran ramen akan selalu ada kalau acara bukber dan saat kumpul bareng teman.

Itu semua, didapatkan dari tontonan yang dikonsumsi sehari-hari. Adik saya yang senang anime, akan selalu menemukan adegan makan di beberapa episodenya, makanan khas jepang yang sudah tentu dibuat semenarik mungkin dai segi visual, membuat siapapun yang menyaksikan pasti akan tergiur walaupun hanya melihat kuah ramennya saja. Belum lagi visual pakaian tradisional dan tradisi khas negara jepang sendiri, semua dikemas rapi tanpa mengubah alur cerita. Begitupun dengan drama korea yang disukai oleh adik saya yang lain, berapa banyak makanan korea yang sekarang jadi viral hanya karena terkenal lewat drama?
Banyak! bukan hanya satu jenis makanan, namun kita bisa menemukan lebih dari 10 jenis menu makanan korea di satu restoran saja.
Berapa orang yang akhirnya hanya sampai di tahap penasaran dengan mencicipi Kimci, misalnya, karena sering muncul dalam drama? Atau mencoba makan ramen pake panci, hingga gorengan ala korea yang ternyata saat dicoba, lidah kita justru tidak bersahabat dengan rasanya.

Banyak sekali komentar negatif tentang sinetron kita, dari segi cerita, yang memang selalu menampilkan kisah cinta kalangan ekonomi atas dengan latar belakang perusahaan dan perebutan kekuasaannya atau kisah cinta anak sekolahan kaum elit dengan cinta segitiga dan bully-annya. Iklan yang mereka sajikan dalam potongan adegan juga membuat kita kaget setengah mati, ketika adegan berkelahi antara dua kelompok siswa berlangsung, tiba-tiba ada seorang ibu duduk di ruang makan sambil menyeduh minuman sereal untuk sarapan,

“Dengan minum ini, kamu akan berenergi setiap hari, kamu akan kuat karena minuman ini mengandung Flouride dan Kalsium yang dapat mengangkat sel-sel kulit mati! jerawat kamu akan hilang seketika!”
si anak meminum minuman itu-
“Wah, enak sekali! iya nih, perutku jadi nggak sakit lagi, sembelitku hilang! makasih ya, Mah!” dan mereka berpelukan.
Adegan sinetron akan berganti ke scene lain.

Betapa tidak halusnya iklan di sinetron kita, padahal dalam drama atau dorama yang saya lihat, jika ada iklan dalam sebuah scene, mereka hanya cukup berakting memakai produk tersebut sesuai dengan adegan yang terjadi, si aktris akan memakai bedak dengan merk tertentu ketika akan pergi kencan, atau si Ibu akan minum sebuah merk minuman tertentu ketika sedang bersama temannya, tapi adegan iklan sehalus ini juga pernah ada di sinetron Para Pencari Tuhan di awal kemunculannya di televisi, adegan aktor yang sedang menyiapkan untuk puasa ditampilkan dengan adegan sedang menuang sirup alfabet ke dalam gelas atau ketika aktor sedang mengobrol dan mereka makan sebuah merk biskuit yang ditaruh di atas meja.

Sehingga, jelas sekali bagaimana dan kenapa justru makanan luar sangat mudah menjamur di Indonesia karena mereka terus menerus mengiklankan produk dan makanan khasnya dalam film-film mereka. Memperkenalkannya pada dunia, bahwa sarapan dengan Chazuke itu enak, minum teh dan kue itu tradisi yang patut dilestarikan, Toppokki itu adalah camilan wajib saat jalan-jalan dengan teman, bahkan pakaian dan budaya yang mereka kenalkan juga ditampilkan sangat rapi sehingga banyak diikuti penonton lintas negara.

Sering saya temui dalam beberapa sinetron, yang lagi-lagi dengan alur cerita yang klasik — percintaan remaja kalangan elit — sedang sarapan roti (atau makanan yang adegannya makan pake sendok dan garpu) dengan orangtuanya — anaknya melihat jam tangan — ia buru-buru pergi ke sekolah
“Eh, mau ke mana? kamu belum sarapan!” sang ibu menegur anak sambil mengoles roti dengan selai, di sampingnya ada segelas susu hangat
“Ma, aku udah telat!” cipika-cipiki “Bye Mama! Bye Papa!”
lalu pergi dengan supir, “Pak Anwaaar! ayo aku udah telat!”
“Baik Non!” Pak Anwar membukakan pintu mobil
sebuah pengenalan makanan yang terlalu umum, memangnya orang kaya harus selalu sarapan roti? apakah orang kaya tidak boleh makan pake kuah sayur sop, tempe orek, dan kerupuk lomba agustusan? kan itu Indonesia banget!

Tapi, sekarang mulai ada sinema televisi yang menampilkan makanan tradisional, seperti cilok, kicimpring, atau nasi kuning dalam beberapa adegannya.
Menurut saya, sinetron dan tontonan lain di televisi kita akan sangat membantu menaikkan pamor budaya kita dengan mudah, sehingga sinetron kita tidak akan sering mendapat hujatan, selain itu, budaya belajar serta membaca juga perlu ditingkatkan dalam dunia perfilman kita, agar ketika adegan diinfus di rumah sakit nggak pake selang mesin cuci.

Bandung, 4 Maret 2021

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet