Kucingta Kau Apa Adanya Part 2
Sebelumnya, part 1 pernah saya tulis di platform lain. Kalau berkenan baca, bisa ke sini
Lebaran kali ini, adik saya yang pertama benar-benar sibuk. Dia bawa kerjaannya ke rumah sambil marah-marah. Seharian di depan laptop sambil menggerutu akan suatu hal yang sepele.
Dan di hari jumat kemarin, kucing di rumah yang sudah kami rawat dari kecil banget hilang entah kemana. Kucing yang kita temukan dalam keadaan lemah dan bau karena ditemukan dekat kebun dan parit, membuat kita sudah menganggap dia sebagai anggota keluarga.
Adik saya ini cuek banget, dia seolah nggak peduli sama lingkungannya. Tapi lain sekali ketika kucing kami ini hilang, dia seolah kebakaran jenggot padahal nggak punya jenggot.
Dia ikut nyari keliling satu RT padahal kemarin hujan deras.
Dia juga khawatir sambil berujar, “Aku mau berdoa ah,”
Atas kejadian hal ini, saya jadi teringat cerita yang teman saya (Halo, Leni!) unggah di status whatsappnya
Ada seorang tukang bangunan yang sedang mengerjakan pekerjaan di lantai 2. Lalu, karena butuh sesuatu ia memanggil temannya di lantai bawah. Karena nggak kedengeran, akhirnya dia lempar uang seribu rupiah ke bawah. Temannya yang di bawah mengambil uang itu dan kembali bekerja. Karena kesal, orang yang berada di atas kembali melempar uang seratus ribu. Tapi temannya yang di bawah mengambil uang itu dan kembali bekerja lagi.
Masih penasaran, ia akhirnya melempar batu ke temannya tersebut. Temannya akhirnya lihat ke atas dan akhirnya nanya, “Weei, apaan nih?”
Setiap diberi kenikmatan, kita selalu tak peduli apa yang sudah kita dapat. Kita lanjutkan kehidupan tanpa sedikitpun bersyukur atas apa yang sudah Allah beri. Namun ketika musibah itu datang, kita menengadah ke langit, berdoa, atau kalau sedang tidak tahu diri, malah menghujat.
Sedih ya? ternyata kami masih jauh dari bersyukur ketika masih Allah beri nikmat yang banyak. Tidak mudah untuk merelakan sesuatu yang akhirnya pergi dari kita, apapun itu. Baik harta, jabatan, teman, atau keluarga.
Dengan hilangnya kucing kami ini, saya jadi merasakan menjadi anggota keluarga korban bencana. Mau nangis juga gimana ya, soalnya belum jelas juga kucing kita mati atau masih hidup. Dan masih berharap dia bisa segera ditemukan.
Seperti keluarga korban bencana lainnya, yang tetap berharap ketika anggota keluarga hilang, kalau kabarnya sudah jelas keluarga mereka meninggal dengan jasad yang sudah diterima keluarga, mungkin rasanya untuk lapang akan lebih mudah. Beda halnya ketika ketidakpastian masih menggeluti, untuk menangis pun kita masih ragu, karena harapan tetaplah ada.
Sesungguhnya urusan orang mukmin amat indah, kita hanya harus bersyukur dan bersabar.
SA,
5 Syawwal 1440 H / 9 Juni 2019