Kita, Dilahirkan dari Orangtua yang Tidak Siap
Di awal-awal mengikuti beberapa seminar parenting, saya ingat sekali ketika pertengahan tahun-tahun kuliah, saya selalu merasa panas. Dan saya rasa semua teman-teman mahasiswa saat itu juga begitu, ingin memuntahkan semua isi kepala dari hasil ilmu parenting yang kita miliki ke berbagai media, kita tulis teori-teorinya di media sosial kita, saat mengobrol ringan hasil seminarnya kita singgung, bahkan kita menceramahi orangtua dengan teori yang kita dapat.
Beberapa pakar ilmu parenting yang saya ikuti menuntut saya untuk bergerak membuat perubahan yang sangat berarti, “ini demi masa depan anak-anak kita.” Begitu slogannya. Atau “menciptakan generasi blablabla.” Apalagi melihat orang-orang yang sudah masyarakat anggap pakar parenting itu, membagikan pengalaman mengasuh anak-anaknya sehingga mereka berhasil membuat anaknya cemerlang, dengan dibuktikan dengan foto dan rekam jejak prestasi mereka. Saya merasa, “Wah, orangtua saya jauh sekali dari metode keren seperti itu!” sehingga saya merasa harus membuat sebuah perubahan, minimal pada pola asuh orangtua saya terhadap anak-anaknya.
Sebagai mahasiswa yang masih nyomot ilmu sana sini dengan menggebu, saya merasa gatal ingin sekali memperbaiki yang menurut saya salah.
Lalu seiring waktu, bahkan hingga kini, saya menemukan beberapa kasus- teman, saudara, bahkan murid saya- mengenai pola asuh yang diterapkan orangtua mereka. Ada banyak sekali pola pengasuhan yang saya temukan dan terkadang membuat saya iri ataupun bersyukur atas cerita mereka.
Saya menemukan banyak sekali pola yang tidak sesuai dengan teori yang saya pelajari, bahkan diluar itu, para orangtua ini mengasuh dengan semaunya sendiri. Begitu saja pikir saya. Maka saya berpikir, sungguh beruntung, para pakar parenting itu sudah memiliki ilmu untuk menjaga dan membesarkan anak mereka dengan teori sekaligus praktik yang keren. Dan saya menemukan satu kesimpulan : “Tidak semua pasangan siap menjadi orangtua.”
Tunggu dulu, ini bukan kesimpulan akhir saya, karena pada kenyataannya, pemikiran ini melahirkan pola pikir yang baru. Bahwa sebetulnya, orang-orang yang saya ikuti -para pakar parenting itu- juga mencoba beberapa cara mengurus anaknya dengan mempraktikkan teori yang mereka dapat, hingga lahirlah sebuah keberhasilan dari praktik-praktik itu, dan kemudian dibagikan kepada masyarakat sehingga kita mengenalnya “Pakar parenting.”
Lalu apakah pakar parenting itu benar-benar akurat dalam berbagi teori?
Saya tidak bisa jawab iya atau tidak, karena indikator berhasil atau gagalnya membesarkan anak manusia tentu berbeda pada setiap orang, praktik-praktik para pakar parenting yang berkembang saat ini adalah dampak dari ilmu pengetahuan kita yang sudah maju. Lihatlah betapa banyak sekarang metode pengasuhan yang menjamur dalam bentuk seminar, buku, sampai pelatihan. Bandingkan dengan dulu, orangtua zaman dulu mengasuh dengan pola yang hampir sama, lalu melahirkan generasi orangtua kita yang menurut kita pola pengasuhannya harus dibenahi dengan pola pengasuhan sekarang. Siapa yang salah? sehingga pikiran ini membuat saya berpikir bahwa semua orangtua tidak pernah siap menjadi orangtua.
Siapa yang siap membesarkan anak manusia dari embrio hingga dewasa? membentuk pola pikirnya agar menjadi manusia berguna, memberi makan yang baik, pakaian yang baik, hingga kualitas hidup yang baik? itu baru membesarkan satu anak, bagaimana jika mereka ternyata diberi lima anak, bahkan sepuluh anak? semua orangtua tidak pernah benar-benar siap saya rasa, mengurus hidup sendiri saja butuh banyak penguatan positif dari berbagai pihak, apalagi mengurus manusia yang akan menjadi tanggungjawab mereka seutuhnya. Saya rasa itu berat.
Maka kesimpulan final saya adalah, setiap orangtua akan menjadi pakar yang cocok untuk kehidupannya sendiri. Tapi tidak menutup kemungkinan jika para pakar itu saling belajar untuk membuat anak-anak mereka tidak terus menuntut keras agar diberi nilai kehidupan yang lebih layak. Semua pakar parenting yang sekarang diakui masyarakat itu, tidak bisa sepenuhnya diamini, karena teori tidak bisa diterapkan pada semua kondisi. Kita tentu harus melihat bagaimana semesta bekerja. Apakah semua anak harus dijejali sains seperti pakar A? atau ilmu sejarah seperti pakar B?
Saya rasa kita saja yang harus menerima orangtua kita. Itu saja. Karena semua orang tua tidak ada yang benar-benar siap seratus persen. Kita hanya perlu terus belajar. Dan tetap menerima ilmu lain tanpa memandang pikiran kita sudah paling benar sedunia.
Bandung, Awal Ramadan 1441 H