Kemarau di Desaku
Aku menata rambutku rapih. Kata Mamak, biarlah tak punya kemeja dengan dasi untuk upacara nanti di Balai Desa, asal jiwa nasionalismeku tinggi.
Aku memakai sandal jepit hitam yang sudah tipis, lalu berlari ke Balai Desa. Awal bulan Agustus ini kakak-kakak di sana sedang sibuk pasang bendera di sepanjang jalan. Selain itu, bendera juga dipasang di depan kantor Balai Desa dan berkibar selama sebulan penuh di Agustus ini.
Aku tentu saja membantu kakak-kakak Karang Taruna memasang bendera merah putih yang terbuat dari kertas wajit. Musik-musik perjuangan didengarkan lewat speaker yang terpasang di pos Karang Taruna di samping Balai Desa. Tapi ada juga seorang Kakak yang iseng mengganti musiknya menjadi musik-musik Pop yang sedang ramai dinyanyikan pedagang di Pasar Ikan,
Kurela, pergi pagi pulang pagi, hanya untuk mencari rezeki
Sontak saja kami tertawa karena musik perjuangan tiba-tiba saja berubah menjadi musik Pop. Apalagi ada saja yang menggantinya menjadi musik Dangdut.
Tiba-tiba Kak Purba datang membawa sekardus air mineral untuk kami. Aku menghampirinya dan mengedarkan air minum pada kakak-kakak yang lain.
“Nah gitu dong!” Kak Purba berteriak di sela-sela kerja kami “Semangat! kita sudah merdeka! jangan kalah sama bangsa asing!”
Kata Toni, teman mainku, Kak Purba adalah mahasiswa yang selalu saja membantu Balai Desa dalam kegiatan apapun. Aku sih, baru bertemu dengannya dua kali, pertama saat aku diajak Toni membantu di sini, dan kedua ya, hari ini.
“Hai! nama kamu siapa?” Kak Purba membungkuk demi sejajar denganku. Tangannya mengulur, mengajakku bersalaman.
“Awan, Kak!” Aku tersenyum, membalas jabatan tangan Kak Purba.
“Tanganmu, habis pegang lem ya? kasar sekali!” Aku tertunduk malu. Tanganku memang kasar sejak dulu, karena sering bantu Ibu di Ladang, “Hehehe, tidak kok Kak!” Aku lalu duduk di samping Kak Purba, melihatnya melipat kertas wajit untuk jadi bendera.
“Anak-anak itu, harus ceria!” Kak Purba memperlihatkan caranya membuat bendera dari kertas. Padahal, aku sudah tahu! “Kita kan, sudah merdeka! sudah lepas dari penjajah. Apa lagi alasan kita untuk tetap bersedih dan tidak bersemangat hidup?” Kak Purba tersenyum padaku, mengacak-ngacak rambutku.
“Kak?” Aku mencoba mengambil satu kertas berwarna merah, untuk kugabungkan dengan lem bersama kertas yang berwarna putih.
“Ya?”
“Kalau sudah merdeka, itu artinya, kita bebas melakukan apa saja ya?”
“Iya, asal sesuai aturan negara dan agama. Kita tidak sesulit dulu dalam melakukan apapun.”
“Itu artinya, aku bisa bebas bersekolah, ya?” Aku tersenyum lega, aku mungkin sudah menemukan maksud dari merdeka itu.
“Tentu saja!” Kak Purba menatapku mantap. “Eh, kamu kelas berapa sekarang?”
“Aku, kata Mamak, tahun depan baru bisa kelas 4 SD. Baru tahun depan, aku bisa merdeka Kak!” Aku tersenyum bangga, aku akan merdeka!
“Kenapa baru tahun depan? umurmu sama dengan Tono, kan? sepuluh tahun?”
“Iya, dua tahun yang lalu saat Bapak ditabrak mobil di dekat Pasar itu, aku tidak bisa lanjut sekolah, Kak. Kata Mamak sekolah di sini sudah penuh, belum bisa terima siswa lagi. Jadi tahun depan aku baru akan sekolah lagi Kak!”
“Sekolah kan, tidak cuma satu?”
“Tapi hanya satu itu Kak, yang gratis!”
Aku bangkit dari dudukku, menyandang speaker yang selalu kubawa ke mana-mana untuk mencari uang.
“Kak, aku pergi dulu ya! nanti sore aku balik lagi!” Aku melangkahkan kaki ke luar dengan senyuman terbangga yang pernah aku miliki, “Kata Kak Purba, merdeka itu, aku bisa melakukan apa saja, iya, tahun depan aku akan merdeka!”
Aku lalu berkeliling dengan Speakerku menyanyikan lagu dinasku,
“Kurela, pergi pagi pulang pagi, hanya untuk mencari rezeki..”
SA
Bandung, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, 4 Agustus 2019/3 Dzulhijah 1440H
Kurasa, kemarau masih menaungi negeri, bukan hanya sebatas Desa Awan yang penuh janji kekosongan,