Jumlah Followers Tidak Berbanding Lurus Dengan Kebahagiaan

Sarah N Aini
5 min readNov 2, 2019

--

Berita tentang kematian mantan member girlband F(X) yang katanya bunuh diri, membuat saya langsung ngebayangin betapa ngerinya dunia ini. Orang-orang begitu percaya untuk mendengarkan pendapat orang lain daripada percaya pada diri sendiri (kadang termasuk saya, sih). Kalau kita dibilang, “Lo gembel deh pake baju itu!” besoknya bisa jadi kita nggak mau pake lagi baju gembel itu. Kayak adek saya tuh, dia pas mau pergi banget eh saya iseng komentarin, “Apaan tuh kerudung warnanya gak nyambung sama baju, hih! kayak jemuran lari-lari.” eh, dia langsung ganti baju, padahal udah telat. (Asik juga jailin adek pake cara gini)

Apalagi bagi orang yang aktif di media sosial, begitu postingannya dikomen negatif, langsung baper, atau langsung hapus. Saya nggak begitu ngikutin alasan kenapa Sulli bunuh diri sih, denger-denger dari gosip mah katanya depresi karena dibully sama netizen.

Nah, itu dia masalahnya! jadi netizen mah gampang. Tinggal duduk aja atau baringan sambil scroll, ada yang menarik buat dikomen, ketik, like, atau katakan aamiin.

Selain memudahkan netizen untuk membully, medsos memudahkan kita untuk menghabiskan waktu agar tidak berfaedah. Komen sana-sini, buka satu medsos kemudian buka lagi medsos yang lainnya, kepoin instagram satu artis, nyambung ke artis lainnya, atau ngepoin akun temen SMP, nyambung ke akun medsos temen SMA, sampai nggak kerasa waktu tidur malam terenggut.

Di media sosial, kita nggak tahu jelas apa yang dimaksudkan orang, bisa jadi ketika dia komen negatif di postingan seseorang, tapi pas ketemu sama orangnya langsung malah nangis minta maaf.

Di media sosial juga ada yang mungkin terlihat palsu, misal seorang cewe posting foto, dikomen sama temennya, “Cantik ih,” terus yang punya postingan balas, “Makasih yang lebih cantik!” Padahal besoknya dia akan posting foto lagi dengan usaha keras dalam mengedit. Atau bisa jadi ketika kita merasa masalah kita dengan seseorang sudah selesai, eh dia malah posting di medsosnya, atau sampai bikin thread di twitter.

Hal-hal yang membuat seseorang stress karena dibully adalah omongan orang lain terhadap dirinya, ingat, kita tidak bisa untuk selalu menyenangkan orang lain. Mau kita cantik atau ganteng, pasti ada saja yang tidak menyukai kita.

Lalu, apa yang harus kita lakukan jika bullyan itu menghampiri kita?

Jawabannya adalah, berhenti sejenak mengakses media sosial. Sure, kita nggak bisa sepenuhnya hidup tanpa media sosial karena sekarang medsos jadi kebutuhan. Tapi mencoba mengurangi penggunaannya adalah langkah awal biar kita nggak over thinking atas perkataan orang lain.

Hal ini saya alami setelah adik nomor 2 saya, gagal tes masuk di 6 PTN sekaligus dalam satu periode pendaftaran kemarin. Adik saya yang baru lulus SMA di bulan Juni lalu, daftar ke 6 PTN berbeda melalui beberapa sistem pendaftaran, namun semuanya gagal. Saya tidak bisa menerima kenyataan ketika banyak teman-teman posting adiknya tembus PTN, atau pertanyaan tentang, “Eh, adik kamu kuliah di mana sekarang?” Saat itu saya merasa tidak berguna dalam mendidik adik saya sendiri. Akhirnya karena saya tidak bisa menjamin diri saya untuk tidak hasad, iri, dan dengki pada orang lain yang bisa tembus PTN favoritnya, saya memutuskan untuk berhenti beraktifitas di instagram, serta mengakses akun twitter saya hanya di akhir pekan. Begitupun adik saya, ia memutuskan untuk sejenak berhenti beraktifitas di media sosialnya. Kami ingin memberi hati kami waktu untuk menerima tanpa ada interupsi dari pihak lain. Kami ingin menghindari masukan-masukan baik dari teman di medsos tapi ujung-ujungnya membawa masa lalu yang sudah kami usahakan untuk dilupakan, seperti, “Yaaah, coba kalau dulu begini, coba kalau dulu begitu!”

Beberapa pekan setelah berhenti mengakses instagram, adik saya yang lain bilang bahwa, “Ih, orang kalau nggak aktif di IG suka ngeunfol kita loh!”

Dan saya saat itu,

Tidak peduli.

Walaupun beberapa fakta menunjukkan bahwa aktifitas seseorang di medsos itu berpengaruh pada jumlah pengikut, saya lebih mementingkan kesehatan mental saya daripada popularitas semu, seperti berlomba-lomba dalam jumlah followers. Untuk itulah, saya pikir jumlah followers tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan, karena semakin banyak pengikut kita, semakin khawatir akan postingan apa yang akan kita unggah, atau seberapa kuat kita menerima banyak komentar. Baik itu yang buruk maupun yang bagus.

Awalnya saya khawatir apakah akan banyak sekali informasi yang saya lewatkan, kabar teman yang saya tak tahu, link pekerjaan hingga info lomba menulis yang akan saya lewatkan, sampai apakah ada pesan masuk yang penting lalu akan saya abaikan?

Tapi setelah memasuki minggu pertama untuk tidak mengaksesnya, hidup saya masih normal-normal saja. Malah saya merasa lebih bebas dalam berpikir, ide-ide tulisan semakin banyak dan saya menjadi lebih produktif menulis di platform ini. Karena kenyamanan itulah, saya memutuskan untuk berhenti mengaksesnya sampai waktu yang tidak ditentukan.

Tapi setelah kebiasaan -yang menurut saya baik ini- berjalan kurang lebih 3 bulan, sebuah notifikasi di email masuk kalau ada seseorang yang mencoba mengakses akun saya dari Bekasi.

Akhirnya saya terpaksa membuka kembali instagram saya. Setelah saya pastikan akun saya masih aman, saya mendapat kabar buruk dari sebuah postingan, salah seorang murid saya-yang kini sudah SMP- melepas jilbabnya. Saya tahu, mungkin itu bukanlah lagi tanggung jawab saya, tapi begitu mengetahui hal itu lewat instagram, saya merasa hancur.

Tiba-tiba muncul sebuah pikiran dalam benak saya, bahwa mungkin selama ini dia mengirimi saya pesan lewat instagram, tapi saya sedang tidak aktif. Karena sebelumnya dia curhat lewat pesan instagram.

Hingga pada titik itu, saya memutuskan untuk mencoba tetap membuka instagram walau hanya di akhir pekan, termasuk medsos lainnya, agar silaturahmi saya dan beberapa teman di sana, tetap terhubung.

Dan rasanya? saya lebih bebas! saya tidak pernah merasa sebaik ini. Saya dapat mengontrol mana saja yang bisa saya lakukan atau saya tinggalkan. Saya tidak akan khawatir jika ada teman maya yang pada akhirnya meng-unfol saya, karena pada akhirnya, semua itu hanyalah semu. Kita tidak bertemu, namun saya bisa saja iri pada postingan seseorang itu. Saya tidak usah repot-repot pergi ke suatu tempat untuk bersilaturahmi dengan teman, namun hati saya bisa saja kotor dalam waktu yang sama. Menurut saya itu merugikan. Untuk itulah, jika ada seseorang atau beberapa orang yang pada akhirnya meng-unfol saya, saya rasa itu sebuah kesempatan untuk mengurangi komentar dan postingan yang membuat hati kita kotor. Karena hati sifatnya berbulak-balik, keadaan hati kita tidak selalu baik, kadang ada kalanya kita merasa buruk sekali, atau ketika iman sedang naik, kita bisa saja menerima apapun komentar atau postingan orang lain.

Mengakses medsos seperlunya, seperti yang kini hanya saya lakukan di akhir pekan, dapat meningkatkan konsentrasi dan fokus pekerjaan kita sehari-hari, setidaknya itu yang kini saya rasakan. Dan juga, menghindari dari kotornya hati. Jadi ketika weekend tiba, akan merasa begitu berharga karena bisa memakai akses yang jarang itu. Kita akan merasa sesuatu itu berharga ketika kita jarang menemukannya kan?

📷 : kamar boya

SA, Bandung, Ditulis tanggal 18 Oktober 2019 / 9 Safar 1441 H

Disunting 3 November 2019 / 3 Rabiul Awwal 1441 H

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet