Instagram dan Hati yang Tersakiti
Sejak awal kemunculannya, Instagram membuat teman-teman saya mulai beralih bermain medsos dari Facebook dan Twitter, namun entah mengapa saya belum juga tertarik membuat akun Instagram, menurut saya saat itu, semua medsos fungsinya sama, menghubungi teman lama, berkomunikasi dengan teman-teman, sampai mengikuti akun yang kita sukai. Saya saat itu juga sudah jarang membuka Facebook, namun sesekali melihat kabar terkini lewat Twitter, yang menurut saya cukup aman karena tidak terlalu banyak orang yang masih mengaksesnya.
Namun sayang, pertahanan saya untuk tidak membuat akun instagram jebol juga, di tahun 2017, di mana saya sudah mengajar di sebuah sekolah dan menjadi walikelas, saya merasa harus membuat sebuah akun di sana. Murid-murid saya-yang terbilang masih sangat muda untuk membuat akun medsos sendiri yaitu di bawah usia 12 tahun-merekomendasikan saya beberapa akun yang menurut mereka lucu dan menghibur. Setelah saya mencaritahu apa saja yang akun itu sampaikan kepada para penggunanya, saya merasa kalau akun-akun itu mudah sekali memberikan pengaruh pada anak-anak seusia mereka.
“Waw, kok bisa anak sekolah bilang gitu sama gurunya?” saya melihat sebuah pesan yang saya tangkap dari sebuah tayangan di akun-akun itu.
Dengan desakan yang kuat dari murid-murid saya ini, bahwa “Instagram itu asik, loh! ayo dong bikin!” atau ketika mereka bilang, “Iya, nanti aku followernya nambah!” yang membuat saya juga berpikir, “Apa yang mereka harapkan dari follower yang bertambah?” dan “Apa yang para pengguna Instagram ini tanamkan kepada anak-anak seusia mereka sehingga murid-murid saya bisa berkata tidak baik seperti itu?”
Saya akhirnya bikin juga. Pikir saya, jika kita ingin memberikan pemahaman kepada anak-anak, maka saya harus masuk ke dunianya. Saya harus mau merepotkan diri saya seperti itu.
Saya akhirnya membuat akun instagram hanya untuk mengikuti akun-akun murid saya dan melihat apa yang mereka lakukan di sana. Selesai.
“Oh, punten, (maaf), tidak semudah itu!” Instagram tiba-tiba menarik saya lebih dalam, ibarat makanan favorit yang membuat kita ketagihan saat mencobanya, saya terhanyut dalam euforia medsos yang satu ini.
Awalnya saya membuka Instagram sesekali, melihat apa yang murid saya lakukan, dan sudah, tidak ada yang saya ingin lakukan lagi di sana. Hingga sejak tahun 2018 hingga saat ini, saya sudah menguninstall aplikasi ini di ponsel dan membuka Instagram sesekali lewat browser, saya tidak terlalu memperdulikan berapa followers saya, berapa orang yang saya follow, jarang melihat story orang lain, bahkan saya tidak peduli ketika following saya lebih banyak dari followers saya, namun hingga pertengahan tahun 2019, saya lumayan intens membuka Instagram sehingga memutuskan untuk mengaksesnya hanya di akhir pekan, begitu juga dengan akun medsos saya yang lain. Saya lelah berlama-lama terhanyut dalam kebahagiaan semu semacam itu, seperti menunggu like pada postingan saya, menunggu bertambahnya followers, hingga berapa banyak orang yang melihat story saya (walaupun saya jarang mengupload story).
Puasa medos ini cukup membuat saya nyaman dan aman dari berbagai macam gangguan, hingga beberapa saat yang lalu, ketika saya harus kembali sering mengakses Instagram karena berawal dari beberapa kebutuhan yang penting, hal itu membuat saya semakin cemas dan gelisah.
Iya, saya mulai cemas ketika followers berkurang, teman dekat mengunfoll, bahkan ketika sahabat sendiri sama sekali tidak ngelike postingan saya. Saya cemas mendapati itu semua. Saya yang awalnya tidak akan peduli sama sekali dengan followers-bahkan selalu lupa berapa jumlah followers saya-menjadi sangat perhatian kepada setiap detail perubahan yang ada di akun saya tersebut.
“Loh? Kok si X ngeunfoll?” sampai membuat saya memikirkan di mana letak kesalahan saya padanya. Betapa anehnya, orang yang begitu dekat dengan kita dulu, bisa sampai mengunfoll kita di medsos. “Emang dia nggak mau temenan lagi apa?” saya insecure sekali, membuat saya juga berpikir, “Lalu fungsi medsos apa dong kalau nggak mau silaturahmi di medsos?”
Rupanya saya tidak menemukan fungsi medsos yang seperti itu, karena cara kerja medsos, tergantung dari para penggunanya.
Kita tidak bisa menyatukan tujuan setiap pengguna medsos pada satu fokus : silaturahmi. Bukan, bukan seperti itu. Medsos digunakan dengan tujuan beragam, jangan salah sangka apalagi dibawa perasaan, kita mungkin bisa mengatur bagaimana cara kita mempergunakan medsos dengan sangat bijak, namun tidak semua orang bisa kita atur bagaimana menggunakan medsos agar keinginan dan tujuan kita terpenuhi.
Kita bisa menganggap seseorang sedang pamer ketika mengupload kesuksesannya, namun bisa juga kita menganggap seseorang sedang benar-benar kesepian sehingga membuat dirinya bahagia hanya dengan like pada postingannya. Benar-benar tujuan yang berbeda-beda kan?
Akhir dari semua kekacauan yang saya rasakan dari perjalanan medsos tersebut adalah, saya akan tetap mengaksesnya seperlunya, membuka di saat saya benar-benar ingin membukanya, bukan sebagai penghibur di saat sedih, karena kalau sedang sedih terus nemunya postingan artis gugat cerai itu malah nambah menyesal buka medsos, atau ketika harus mengerjakan sesuatu namun selalu dihabiskan dengan berlama-lama di Instagram, hingga berkurangnya jumlah halaman buku yang saya baca semenjak mengenal Instagram ini. Saya mungkin akan berusaha menghindari itu semua.
Hingga akhirnya saya menemukan sebuah tulisan yang berhubungan dengan kegelisahan tersebut, tulisan ini ditulis oleh Stephanie Gruner Buckley, bahwa mungkin di antara orangtua ada yang menyesal sudah memberikan handphone pada anaknya, atau seperti saya, yang mungkin juga menyesal sudah membuat sebuah akun Instagram, namun di balik penyesalan itu, saya menemukan sekali banyak pelajaran, saya bisa tahu bagaimana murid-murid saya berinteraksi di medsos, saya dapat menjadi teman mereka dan mengerti kegelisahan mereka seperti, “Kok si Kakak kelas itu nggak nge-follow aku, tapi dia nge-follow temen aku sih!” dan saya juga dapat mengetahui modus anak-anak ini saling menjahili temannya lewat Instagram, mereka memakai nama akun salah satu teman sekelas lalu menyebarkan hoax atas namanya. Bagaimana saya bisa mengatasi semua masalah itu, jika saya tidak mau tahu tentang Instagram?
Menurut saya ini sesuai seperti sabda Rasulullah SAW, “Didiklah anak sesuai zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka, bukan pada zamanmu.”
Mungkin, memang benar, saya harus mau repot-repot sakit hati kenapa teman saya tiba-tiba mengunfoll saya, seorang teman marah karena saya melewatkan storynya yang menurutnya penting, atau megapa seorang sahabat saya tidak mau memberikan like pada postingan saya padahal saya sering like postingan dia?
padahal pikiran-pikiran seperti itu hanya ada di dunia maya, seorang teman tidak akan benar-benar enggan menyapa kita jika kita berpapasan langsung. Kita perlu menyadari, bahwa kita terlalu terlena di dunia maya, sehingga kita melihat dunia nyata dengan tidak serius. Kita terlalu dikendalikan. Bukan oleh Instagram dan medsos lainnya, namun oleh kebahagiaan semu yang kita ciptakan sendiri.
Ya gitu, lah.
SNA
Mulai ditulis 6 November, selesai pada 7 November 2020