Indonesia Terpaksa Bodoh

Sarah N Aini
4 min readMar 15, 2020

--

Seorang siswa yang kesulitan matematika, suatu hari bercerita kalau dia sedang ikut les bakat yang ia minati. Saya sebetulnya agak khawatir dengan nilai matematikanya yang aduhai, karena mengerjakan satu soal latihan ujian dia bisa menghabiskan waktu setengah jam. Namun saya mencoba melihat potensi lain yang ia miliki. Dia memiliki suara yang bagus kalau lagi nyanyi. Tapi karena matematika juga penting dalam kehidupan, saya mencoba berdiskusi dengan rekan saya.

“Kalau kamu nih, nggak bisa satu pelajaran, tapi kamu minatnya sama pelajaran yang lain, kamu bakal les pelajaran yang kamu minati yang udah tau ada potensinya di sana atau mau les di pelajaran yang kamu nggak bisa biar kamu jadi bisa?”

“Ya aku sih mendingan les sesuatu yang udah aku minati, lah!”

walaupun saya dan rekan saya setuju kalau setidaknya kita harus melampaui batas minimal kemampuan matematika karena kelas akhir sudah dekat dengan ujian, saya akhirnya mengamini pernyataan rekan saya tersebut. “Oh iya sih ya. Ngapain kita maksain sesuatu yang kita nggak bisa. Mendingan memaksimalkan potensi.”

Namun kita sepenuhnya juga tidak bisa memaksakan bahwa ketika kita dibenturkan dengan dua pilihan di atas kita mengabaikan kemampuan dasar demi mengejar bakat kita saja. Mungkin saya yang salah, entahlah.

Lanjut, saya melihat sebuah tulisan seseorang yang menyatakan bahwa memberikan nilai tambahan pada pelajaran yang kita tidak mampu, seperti menambah point pada hasil ujian fisika yang jeblok, “nggak apa-apa, dia ada usaha nambahin gambar, saya kasih point jadi 20.” Padahal harusnya dia dapat nilai 10 aja karena tujuan si guru memberi tambahan nilai untuk mengkatrol nilai siswa agar bisa bersaing dan menambah semangat belajar, namun pada tulisan tersebut si penulis mengatakan bahwa kita terlalu banyak mengapresiasi sehingga ketika seorang siswa tidak mengerti konsep termodinamika pun, merasa bisa karena nilainya nggak jelek-jelek amat. Padahal jika dia diberi nilai yang sebenarnya, dia akan banyak belajar lagi.

Saya pikir apakah saya saja yang tidak setuju dengan prinsip tersebut?

Di Indonesia, nilai akademik berupa angka sangatlah dipuja. Dengan nilai angka yang baik, ia bisa masuk sekolah yang diinginkan bahkan bisa masuk PTN favorit. Namun tidak ada satupun alat ukur yang pas untuk menilai kemampuan berpikir seseorang di sekolah, karena soal hanya berupa pilihan ganda yang tidak diberikan kesempatan untuk menuangkan pikiran kita yang lain di sana. Berbeda dengan soal uraian, dimana kita dapat berbagi sudut pandang yang lain, memberikan alternatif jawaban di luar kunci jawaban yang sudah baku di masyarakat. Sehingga penilaian bukan sekadar standar baku yang sudah ada saja, namun juga dari proses berpikir yang berkembang. Selain itu, siswa tidak hanya berorientasi pada hapalan saja, namun kemampuan berpikir yang dilatih dari soal-soal uraian. Pada akhirnya, saat pembagian evaluasi, kita dapat menyampaikan segala hal kekurangan dan kelebihan siswa pada orangtuanya. Berbeda dengan penyampaian ranking saat pembagian rapor, anak yang tidak dapat ranking tentu akan merasa dirinya bodoh. Padahal potensi anak tersebut bukan pada akademik semata.

Saya masih juga kesulitan menerima kenyataan kalau siswa Indonesia bisa membawa buku seberat hampir 2 kilo dalam ranselnya. Satu hari sekolah memberikan 4 hingga 5 mata pelajaran yang berbeda dengan konsep yang sama, jika dilihat dari taksonomi bloom, sebuah hirarki yang mengidentifikasi kempuan belajar yang dibuat oleh Benjamin S. Bloom, tingkatan pada ranah kognitif (kegiatan mental / otak) adalah :

  • Mengetahui (C1)
  • Memahami (C2)
  • Menerapkan (C3)
  • Menganalisa (C4)
  • Mengsintesis / memproduksi (C5)
  • Mengevaluasi (C6)

Jika dilihat dari ranah kognitif tersebut, siswa Indonesia hanya berada pada level C3, itupun siswa yang memiliki kesadaran akan pentingnya belajar mandiri. Sementara siswa lain yang dipaksa belajar, berada pada level C2 saja sudah sebuah prestasi. Karena kurikulum kita yang harus banyak mengetahui ilmu sementara menguasai sedikit-sedikit, kita harus bisa Matematika, Bahasa, IPS, Sains, hingga bahasa daerah dan PLH namun mengatahui sedikit-sedikit yang betul-betul dituntut nilai yang tinggi. Sementara kemampuan memahami sebuah ilmu sesuai minat kita dibatasi. Ekstrakulikuler sekolah juga hanya menyajikan seputar kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa seperti Pramuka, Paskibra, atau PMR sebagai ekskul wajib, sementara ekskul olahraga dan kesenian hanyalah tambahan di beberapa sekolah yang mampu membayar pelatih.

Namun sesuatu yang aneh kemudian terjadi, ujian nasional kita menyajikan soal HOTS (High Order Thinking Skill) yang mana hal itu memaksa otak siswa hingga guru untuk berpikir sampai level C4 bahkan C5, tetapi pola belajar kita masih pada tahap C2. Bagaimana bisa standar ujian nasional menjadi begitu rumit? apakah tidak seharusnya siswa kita dibekali life skill dan mengintegrasikan semua kehidupannya ke dalam pelajaran? sehingga soal HOTS dapat dikuasai?

Ketika Try Out kemarin, salah seorang siswa saya mengadu sambil memasang muka marah, “Buu, apaan nih! kok soalnya begini?”

“Kenapa?” Soal yang diberikan pada mereka adalah soal yang tidak biasa mereka terima, soal ini berbentuk pilihan ganda sesuai standar dinas pendidikan kelas akhir menuju ujian nasional.

“Masa kita harus tau jumlah Singa di kebun binatang dalam bentuk pecahan! mana ada bu orang yang nanya jumlah Singa terus kita jawabnya 3 per 8. Aku nggak pernah denger Buu! paling ribet tuh orang jawab pake persen dan itu juga jarang!”

Saya hanya memberikan mereka pengertian bahwa soal dinas pendidikan Indonesia ya begitu. Hanya sebatas mengaplikasikan sesuai level C3 tidak peduli hal itu nyambung pada kehidupan kita atau tidak sama sekali, sehingga siswa dipaksa berpikir abstrak.

Apakah saya lelah menjadi guru? tentu jawabannya iya. Setiap kita memberikan metode mengajar yang lain dari standar dinas, pada akhirnya kita harus menyesuaikan dengan standar mereka pada kelas akhir untuk bisa mendapat ijazah resmi dari negara.

Siswa kebingungan? jelas! untuk apa mereka belajar dan menggeluti bakat dan minat jika pada akhirnya tenaga kerja direkrut berdasarkan IPK dan kemampuan akademik yang dibuat seragam.

Kita dibentuk untuk menjadi sama, ketika menjadi berbeda, orang lain akan mengasingkan kita dan kita jadi pengangguran saja. Mengucilkan si seniman yang tidak suka matematika, atau si mekanik yang senang membetulkan lampu sekolah.

Bandung, Maret 2020

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (1)