Harta, Tahta, Beban Orangtua
Pernah berpikir seperti ini? kalau kehadiran kita hanyalah sebuah beban besar bagi orangtua kita? kalau kehadiran kita tidak ada yang bisa kita banggakan?
Adik saya, yang setiap hari pergi ke kantor pakai angkot, merasa hidupnya tak berguna, karena setiap disuruh teman-temannya pakai motor, dia selalu menolak karena masih takut.
“Pakai motor, dong! lagi tinggi nih kasus covidnya, nanti kalau terpapar di angkot sama ojol gimana?”
“Wah, kamu masih pake angkot sama ojol? wah kamu masuk daftar yang bakal dirapid ya karena beresiko!”
Setiap hari, dengan ketakutannya akan berkendara sendiri, ia juga ditakut-takuti oleh virus yang mengancam, kesehatan yang mengancam rekan kerjanya, hingga ketakutan lainnya yang tak sengaja mampir.
Namun beberapa hari yang lalu, saat perjalanan pulang pakai angkot, si supir berbicara pada temannya sesama supir angkot saat berpapasan di jalan,
“Sok nih tungguin si Neng ini, jam 7 pagi suka ada di x, jam setengah 6 sore di Y, lumayan ongkosnya tujuh ribu!” ucap si supir dengan suara yang riang pada rekannya, “Kan kalau gini mah, saya teh ada tujuan kalau narik teh!”
Sesampainya di rumah, adik saya bercerita dengan wajah gembira, “Berarti kekurangannku itu jadi manfaat buat orang lain! pantesan, tukang angkotnya sama tiap hari!”
Kebayang nggak sih? berapa penghasilan yang turun bagi supir angkot di saat pandemi ini, yang biasanya anak-anak sekolah, mahasiswa, dan karyawan memenuhi ruang-ruang sempit di angkot, ini mungkin rezeki tersendiri yang mereka amat syukuri.
Mungkin kebahagiaan orang lain yang tak pernah diumbar di media sosial seperti ini, adalah kemanfaatan yang datang dari kita, hanya saja kita tak pernah merasa sudah melakukan apapun.
Percayalah, di tengah kebar-baran angkot di Indonesia ini, ada bagian dari rezeki kita milik mereka.
Bandung, 10 Februari 2021