Green Theraphy
Mira Safar
Di zaman yang sudah canggih ini, kurikulum pendidikan juga akhirnya menyesuaikan dengan kebutuhan. Tidak melulu ujian di atas kertas, tidak mendikte siswa harus ranking, atau tidak lagi mengelompokkan siswa yang pintar adalah siswa yang jago matematika.
Beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan mengikuti webinar Bu Mira Safar, seorang pemilik Sekolah Alam di Baturaden dan di Purwakarta sekaligus seorang praktisi tumbuh kembang anak.
Sekolah di Indonesia, sudah banyak menerapkan konsep sekolah inklusi. Bahkan sekolah-sekolah negeri pun harus mau menerima siswa berkebutuhan khusus, tidak seperti zaman dulu yang siswanya akan dianggap remeh oleh masyarakat sekolah termasuk gurunya karena perilakunya berbeda, namun sekolah negeri pun harus siap menerima siswa-siswa seperti ini. Untuk itulah, pemerintah semakin memperhatikan hal ini.
Namun menjalankan sistem sekolah inklusi sendiri tidaklah mudah, perlu teknis dan sistem yang rapi agar meminimalisir kesalahan dalam proses belajar mengajar.
Menjadi pegiat pendidikan di sekolah inklusi, membuat kita harus berhati-hati dan semakin giat belajar, karena selalu ada saja penghakiman dari guru atau orangtua yang berkecimpung di sekolah inklusi terhadap siswa yang akhirnya merasa tahu jenis anak berkebutuhan khusus apa yang dialami oleh seorang anak inklusi tersebut. Padahal untuk menghakimi seorang anak memiliki kebutuhan khusus, membutuhkan proses pemeriksaan yang cukup panjang dan detail serta tentunya hanya bisa dilakukan oleh psikolog.
Terkadang, ketika diagnosis dari psikolog sudah keluar, lalu guru disarankan melakukan perlakuan khusus terhadap anak tersebut, orangtua merasa hal itu tidak benar, kalau anaknya baik-baik saja, seperti anak pada umumnya, atau masalah terjadi di sekolah dan lingkungan rumahnya, lingkungan sekitarnya (orangtua dan guru) tidak menyadari kalau anak tersebut memiliki kebutuhan khusus sehingga tidak ada perlakuan khusus pada anak tersebut dan si anak juga tidak ada perkembangan apapun.
Maka perlu sekali persiapan khusus serta kerjasama yang baik antara orangtua dan guru di sekolah. Apakah siswa tersebut siap di sekolah umum ataukah orangtua siap dengan perlakuan berbeda yang akan anaknya terima, hingga apakah sekolah sanggup memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus.
Di bawah ini ada beberapa kategori siswa berkebutuhan khusus yang dijabarkan oleh Bu Mira
Sehingga secara teori sekolah inklusi harus membagi siswa ke dalam 3 tier atau bisa dibilang 3 kategori. Tier 1 untuk siswa reguler, tier 2 untuk siswa berkebutuhan khusus ringan, serta tier 3 untuk siswa berkebutuhan khusus yang berat.
Untuk mendeteksi siswa ke dalam kategori tertentu, diperlukan langkah-langkah yang tidak sederhana. Apalagi dengan internet yang cepat seperti sekarang, orang cenderung self diagnose atau judging pada orang lain.
Padahal proses penilaian seseorang dikatakan anak berkebutuhan khusus begitu detail
Lalu, siapa yang bertugas untuk bertanggungjawab atas siswa-siswa tersebut?
Di bawah ini dijabarkan dari tier 1 hingga tier 3. Sehingga stakeholder di kelas sudah ada posnya masing-masing, tidak bekerja sendiri.
Menerima siswa ABK di kelas kita tentu harus ada aturannya, harus proporsional sesuai dengan kemampuan fasilitator di kelas. Sehingga jangan sampai kita sendiri dzalim pada siswa ABK maupun siswa reguler sendiri yang tidak terlayani dengan baik.
Penanganannya pun tidak bisa dipukul rata. Indikator pembelajaran yang beragam pada setiap anak harus dipersiapkan karena tidak semua anak mampu mencapai indikator yang sama. Termasuk jika siswa tersebut hanya membutuhkan shadow teacher, bukan pendamping (helper) tetap harus disesuaikan dengan kemampuan siswa tersebut.
Terkadang, kita selalu memaksakan teori pembelajaran dan capaian akademis walaupun sedikit. Namun jika emosinya belum baik, selesaikan dulu pada masalah emosinya. Karena emosi yang tidak stabil akan berpengaruh pada kemampuan akademisnya dan kognitifnya. Capaian pada setiap anak tidak melulu akademik, bisa juga dengan perubahan sifat yang cukup signifikan di setiap termnya, membuat anak semakin baik lagi perkembangannya. Kita saja yang tidak melihat perubahan itu.
Salah satu metide pembelajaran yang mampu mengelola emosi pada anak adalah dengan naturalistic learning method yang manfaatnya dijabarkan di bawah ini:
Metode apapun, tetap harus perlu persiapan. Namun terkadang kita hanya fokus pada hasil dan mengabaikan proses dan kesiapan belajar.
Jadi, sebenarnya tidak ada anak yang salah jika mereka terlihat melakukan kesalahan, namun karena orang dewasa di sekitarnya yang salah memberikan teladan dan pembelajaran bagi mereka. Mereka baru lahir ke dunia beberapa tahun saja, sudah tentu akan banyak mencontoh dan menerima apapun yang kita berikan pada mereka. Jadinya ya, sudah pasti kita harus banyak belajar.
Belajar seumur hidup.
Bandung, 28 Februari 2024
diselesaikan 29 Maret 2024 (Sebulan delay)