Gelandang atau Penyerang?
Kalau disuruh milih, enakan mana, mempertahankan atau menyerang? Jadi Gelandang atau Penyerang?
yang jelas namanya perempuan di suruh main bola kebanyakan teriaknya dibanding mainnya. Bola ke selatan lapangan, semua cewe lari ke sana sambil teriak, bola ke arah barat lapangan, cewe nyamperin sambil teriak, giliran tim lawan yang cetak gol, semuanya pada teriak, habis itu digosipin sambil makan bakso setelah ‘ceritanya’ habis berolahraga, “Eeeh, tauuu nggak? tadi tuuh ya sebenernyaaa…”
Tapi setelah melewati berbagai masalah yang semakin pelik di negara kita yang subur ini, di tanah air kita yang kaya ini, yang mana kata Hari Roesli tanah beli air juga beli, sampai keadilan pun bisa dibeli, jika kita memilih hidup sebagai Penyerang, hidup lebih dapat tantangan, dan kita jelas-jelas terlihat sedang melawan. Mau jadi Gelandang juga nggak kalah canggih, karena tanpa Gelandang, Penyerang tidak akan bekerja dengan baik.
Keberanian sebagai Penyerang itu munculnya dari mana ya kira-kira? sampai adik saya sekolahnya didatengin Polisi untuk diminta ikrar nggak ikut turun ke jalan, lalu adik saya yang lain ketahan nggak bisa pulang di antara kerusuhan awal pekan ini gara-gara dikira mahasiswa yang ikut demo. Dari mana keberanian masyarakat ini untuk melawan padahal kekacauan tetap bertambah setelah berita kekacauan lain mulai mereda?
Jawabnya mungkin dari bola yang datang ke seorang Penyerang dan Gelandang. Nggak mungkin seseorang di lapangan ketika bola datang, dia mikir keras dan merenung dulu, “Teori konspirasi apalagi ini yang mengungkap bahwa bola benar-benar bulat, bukan datar? apakah ini akal-akalan kaum penganut bumi itu bulat?” atau nggak mungkin dia mikir, “Apa hukum fisika yang terjadi jika saya memberikan gaya pada bola pejal ini? berapa besar massa yang bisa saya berikan agar benda ini bisa mengarah ke gawang?”
Saya yakin, kalau kita kebanyakan mikir sekeras ini ketika sudah di lapangan, tidak akan pernah ada aksi yang benar-benar memberikan perubahan.
kita juga butuh orang-orang lapangan yang berani menerima resiko.
Lalu apa manfaatnya menjadi seorang Penyerang?
Kita bisa mendapat banyak pengalaman dari lapangan.
Waktu SD kelas 5, setelah waktu asar, saya dan teman-teman bermain di lapangan dekat rumah. Karena saat itu banyak sekali anak-anak yang bermain di sana, saya tidak menyadari apa saja benda yang ada di sana. Hingga suatu ketika, kepala saya dipentung pake pentungan satpam yang gede itu, padahal dari mana tuh dia bisa dapet pentungan satpam yang biasa dipake mentung maling, si Iip, panggil saja begitu, nama anak yang mukul kepala saya. Buset nih anak, salah saya apa?
Karena si Iip nggak mau minta maaf dengan baik, saya ambil batu kerikil lalu saya lempar tepat ke kepalanya. Kayak lempar jumroh.
“Aadaaaw!” dia memegang kepalanya sambil melihat ke arah saya.
“Kenapa sih?!” dia teriak begitu di depan muka saya,
“Sakit kan? makanya, aku juga sakit dipukul pake itu!” nafas saya tersengal karena marah dan takut. Takut karena akhirnya saya kok berani melawan. Untuk orang yang dilawan karena kezolimannya, kalau dia marah akibat perlawanan itu, berarti dia merasa kalah.
“Lihat nih! berdarah tau!” padahal saya yakin itu sama sekali nggak ada darah. Dan saya hanya melempar batu kerikil. Mencari kesalahan orang yang melawannya, juga sebuah kekhawatiran akan posisi dia yang sedang terancam.
Karena saya baru sadar kalau yang saya lawan itu adalah salah satu ketua kelompok geng di lapangan itu, saya jadi takut. Lalu buntutnya, setiap pulang sekolah saya ditandain sama dia, “Awas ya, pulang sekolah nggak akan selamat!” Bener aja, pas perjalanan pulang, saya ditendang-tendang sama dia sambil dikata-katain. Saya akhirnya menyesal. Kenapa saya mengikuti nafsu yang saya bahkan nggak tau akibatnya akan seperti apa?
Saya menyesal kenapa saya nggak bantuin ibu aja di rumah cuci piring atau ngurus adik, malah turun ke jalan dan akhirnya melawan, menerjang.
Tapi sisi baiknya adalah, saya dapat sebuah pelajaran berharga sekali sebagai seorang Penyerang, bahwa kita suatu hari akan digerakkan entah oleh siapa atau apa yang akan membuat kita sadar, bahwa diam dan menunggu saja bukanlah jawaban. Tapi dengan melawan disertai nafsu yang menggebu tanpa iman, juga hanyalah debu yang menghanguskan kekuatan kita hingga usang.
Ingat sebuah kisah sahabat nabi yang tidak jadi menyerang saat peperangan terjadi karena di tengah-tengah niatnya berubah disebabkan dendam, bukan lagi karena Allah.
Lewat tulisan ini sih, saya nggak berniat menyeru para pembaca agar ikut demo turun ke jalan, semua keputusan ada di tangan masing-masing, namun, satu yang paling pasti harus kita lakukan adalah dengan tetap mempertahankan atau menyerang. Sekali lagi, dengan meluruskan niat sebaik-baiknya tanpa disertai nafsu.
Jadi, dalam melawan, tinggal memilih, mending menjadi Gelandang atau Penyerang?
📷 : Dari grup guru-guru
SA
Bandung, Hari Batik Internasional 2019
3 Safar 1441 H