Gais, Ada Ibu-ibu, Gais!

Sarah N Aini
5 min readMay 28, 2019

--

Kata siapa mencari uang itu sulit? Mencari uang itu gampang banget! Buktinya adik saya yang masih SMA udah bisa dapat duit hanya modal suara dan langkah kaki aja.

Ceritanya dia mau ada semacam pentas seni di sekolahnya. Total biaya yang dibutuhkan adalah kisaran 10 juta. Waw, dapat dari mana anak SMA buat bisa punya 10 juta? Karena mereka sadar kalau uang tidak bisa muncul dari tanah, akhirnya mereka dagang. Tanpa mengeluarkan uang untuk modal, mereka mengobrak-abrik isi lemari mereka dan menjual baju-baju bekas layak pakai itu di pasar Gazibu.

Iya, mencari uang itu memang gampang, tapi mendapatkannya yang sulit. Kalau masalah belanja, pasti ibu-ibu jagonya. Jangankan baju bekas, baju baru aja ibu-ibu suka heboh kan? apalagi di Gazibu, senggol sana-senggol sini, sikut sana-sikut sini, hantam sana-hantam sini. Nah di sinilah, mereka bersaing dengan ibu-ibu.

Baju yang dijual memang masih sangat layak pakai. Ada yang baru dipakai sekali dan belinya dengan kisaran harga di atas seratus ribuan, ada yang beli baju dengan harga empat ratus ribuan lalu dijual di Gazibu jadi lima ribuan, benar-benar tidak masuk di akal kan?

“Yang penting ada yang beli.” Kata mereka.

“Tapi kalau ada yang nawar kurang dari ini gimana?” mereka juga ada yang khawatir.

“Jangan dulu dikasih, masih pagi. Nanti aja kalau udah siang belum laku juga, baru kasih.”

Di antara pembeli yang datang kebanyakan adalah ibu-ibu. Mereka merupakan spesies terhebat di dunia ini menurut saya, karena selain bisa mengerjakan berbagai pekerjaan rumah dalam satu waktu, mereka juga bisa mengalahkan tukang dagang dengan kata-kata mautnya. Dari mana ya, mereka belajar itu semua? Apakah setelah seorang gadis menikah lalu kemampuan itu semua tiba-tiba datang perlahan-lahan pada mereka bagai wahyu? Wallahu’alam.

“Bu, mari Bu! Belanja dulu!” tawar si anak-anak SMA yang haus akan uang.

“Neng, ini berapa, Neng?” datanglah seorang ibu membawa secercah harapan.

“Lima belas ribu, Bu.”

“Ah, yang begini mah lima ribu, Neng!” merasa dilabeli dengan harga rendah, anak-anak SMA itu marah.

“Atuh Bu, liat Bu bahannya juga bagus! Masa lima ribu.”

“Ah, atuh da Neng ini mah kayak gini! Lima ribu ah, dikasih nggak?”

“NGAAK!” mereka jawab kompak.

“Ah, yaudah, nggak jadi.” Ibu itu kemudian pergi. Namun itu hanyalah trik, saudara-saudara! Sesungguhnya ibu-ibu kalau lagi nawar harga akan berubah menjadi si Cinta di AADC, dia berharap dipanggil atau dikejar oleh Rangga. Lah iya sih, Rangga kan mengharapkan cinta si Cinta, beda dengan anak-anak SMA ini, mereka tidak sedang butuh cinta si Ibu, namun mereka mengharap uang si Ibu. Makanya, si Ibu tadi nggak dipanggil layaknya harapan seluruh ibu-ibu yang lagi belanja di Indonesia ini. Lalu, datang lagi seorang ibu yang menawar baju dengan harga rendah, baju yang udah murah banget dijual sepuluh ribu, sama Ibu itu ditawar tiga ribu. Atau baju yang udah dijual sepuluh ribu tiga, Ibu-ibu tawar jadi lima ribu tiga.

“Neng, ini ya. Lima ribu tiga!” si Ibu sudah memilih tiga baju untuk dibeli.

“Nggak, Ibuu itu kan udah ada tulisannya, sepuluh ribu tiga. Mana dapet atuh, Bu!”

“Atuhlah, yah. Nggak mau ah Ibu mah mau lima ribu tiga!” si Ibu ngotot.

“NGGAK IBU!” mereka tetap teguh pendirian.

“Oh, ya udah atuh, nih sepuluh ribu!” si Ibu mukanya dilipat, “Tapi sama ini ya, satu!” si Ibu lalu mengambil sebuah kerudung dan lalu kabur.

Mereka hanya bisa menangis di keramaian.

Mungkin menjadi ibu-ibu banyak sekali kekhawatirannya ya, selain ingin mencukupi keluarga dengan makanan dan kebutuhan lainnya, si Ibu juga ingin membeli pakaian untuk anaknya. Tapi, semua peristiwa di Gazibu tadi juga nggak bener. Antara penjual dan pembeli tentu harus ada akad yang jelas dan keduanya tidak saling dirugikan.

Selain kasus ibu-ibu tadi, ada juga kasus ibu saya sendiri. Ibu saya juga salah satu dari ibu-ibu yang melakukan trik AADC ketika belanja di pasar. Tapi kata Ibu saya, nawar jangan keterlaluan, jangan sampai menyakiti penjual. Tapi bukan berarti kita nggak harus nawar. Namun sayangnya trik belanja ini masih sulit saya kuasai. Saya mungkin harus belajar siang dan malam agar proses pembelajaran ini melekat dalam diri saya. Lalu kalau ingin membeli sesuatu ditemenin Ibu, saya akan malu setangah mati karena Ibu saya akan banyak bertanya, “Gimana Teteh, Teteh suka nggak?” pertanyaan ini Ibu saya tanyakan langsung pada saya di depan emang-emang yang jualan. Kan nggak mungkin juga saya jawab nggak suka, karena nanti si emangnya merasa sakit hati. Maka saya hanya diam. Karena si emang itu bingung ini anaknya kok diem aja, ntar jangan-jangan nggak jadi beli lagi, maka si emang akan turun tangan dan ikutan nanya, “Kumaha Teh, bogoh teu?”

Lalu saya makin diam. Gila, ini si emang ujug-ujug nembak saya. Saya nggak bisa ngomong apa-apa. Eh nggak lama, Ibu saya bilang, “Nanti ya, ditanya dulu anaknya.” dan lalu mengajak saya pergi. Ibu memang paling mengerti, ya! Lalu, setelah saya tau kalau bogoh itu adalah jenis pertanyaan kalau kita lagi beli sesuatu, bogoh itu artinya suka atau naksir, jadi si emang nanyain saya, “Bogoh teu?” Atau kalau dalam bahasa indonesianya, “Gimana, naksir nggak sama barangnya?”

Bukan nembak saya.

Ah, dasar si emang, bikin kaget aja!

Makanya, saya sangat menghindari pergi belanja keperluan saya kalau sama Ibu.

Lalu ada juga ibu-ibu yang kalau belanja akan PD, saya pernah liat ibu-ibu membeli pakaian dalam bagian atas di sebuah tempat perbelanjaan, eh si pakaian dalam bagian atasnya dicobain di situuu! Dalam hati saya langsung mikir, “Eh, ini halal dilihat nggak sih?” emang sih nyobainnya nggak pake lepas baju segala, tapi, tapi, tapiii kaaann… dan yang paling anehnya lagi, si pedagang, orang yang nganter ibu-ibu tadi belanja, dan semua pembeli lain tidak peduli dengan kejadian tersebut. lalu setelah beberapa saat kemudian, ibu-ibu yang lain datang dan melakukan hal yang sama.

Aduuuh, ibuu!

Lalu, mengapa ibu-ibu itu adalah agent of change? Iya, betul sekali, mereka adalah agent of change untuk keluarganya. Kalau tidak ada kaum ibu-ibu yang heboh begini, maka bapak-bapaklah yang akan belanja dengan sikap yang cool, bapak-bapak kalau belanja mungkin akan begini, “Mang, ini berapa jeruk sekilo?”

“Mangga Pak, dua puluh ribu sekilo kalau yang murahnya kalau yang mahalnya lima puluh ribu sekilo.” Lalu karena bapak-bapak terlalu cool dan gengsi, mereka akan beli yang mahal.

“Yang mahal aja deh, sekilo!”

Lalu pas sampai rumah, istrinya udah pegang sapu lidi dan pasang muka seasem jeruk nipis begitu tau harga jeruk satu kilo bisa setara dengan sekotak susu anak mereka.

Lalu pesan moral dari tulisan panjang ini adalah kita harus bisa menghargai para pedagang. Namun di sisi lain, kita juga harus bisa menghargai para ibu-ibu. Dan terakhir namun yang utama ialah kita harus menyayangi ibu kita, karena berhasil membeli jeruk serta susu dengan uang lima puluh ribu bahkan masih ada kembaliannya.

SA

ditulis ulang tanggal 28 Mei 2019

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet