Fenomena Pembulian Gen Z

Berdasarkan Studi Lapangan Sotoy

Sarah N Aini
3 min readJan 4, 2024

Dalam dua hari ini, sebagai pengajar yang masih ingin libur, saya dapat suatu insight baru seputar Gen Z ketika diskusi saat rapat kerja di awal tahun ajaran.

Dulu, ketika saya harus ikut ospek dan LDKS di jenjang sekolah menengah (SMP-SMA) ada semacam skenario digalak-galakkin oleh senior dan guru.

“Zaman kakak dulu ya, kalau sekolah itu sambil bangun Borobudur! Kalian mah mending..” kalimat template yang sering banget saya dengar. Bahkan saat masuk kuliah, saya juga merasakan hari-hari ospek jurusan yang melelahkan. Melelahkan melihat drama-drama kakak tingkat yang sok galak.

“Kang, kami mau izin pake sandal, soalnya sepatu kami basah kehujanan,” ucap saya dan teman-teman pada saat itu.

“KALIAN LIAT SAYA PAKE SENDAL GA?!” emang nadanya tinggi, digalak-galakkin, biar kita takut, padahal emang iya, kita takut.

Ternyata di semester selanjutnya, si kakak tersebut ngulang matkul di kelas saya.

Pelajaran pertama yang saya dapat dari sini adalah, kalau jadi mahasiswa jangan sok senior, nanti bisa jadi sekelas sama junior.

Atau tipe pengajaran zaman dulu adalah dibikin sesi muhasabah menuju ujian akhir, siswa dibikin nangis mengingat orangtuanya, mengingat dosanya yang pantas dirajam selama jadi senior, sehingga guru agama selalu memimpin doa muhasabah di hari-hari sebelum ujian nasional,

“Bayangkan, kalian pulang ke rumah, lalu melihat bendera kuning, bayangkan! Bayangkan, ternyata bapak kalian jadi caleg golkar..”

Akhirnya semua siswa menangis terpaksa, tapi pas sampai rumah kelakuannya patut dirajam lagi.

Berbeda dengan generasi sekarang yang bisa nangis hanya karena disinggung mental health dari adu nasib.

Pembulian di sekolah oleh senior saya pikir masih ngetrend sampai sebelum pandemi, di era pasca pandemi, pembulian saat ospek rasanya sudah kurang mempan, karena gen z yang sekarang duduk di bangku sekolah menengah katanya tidak sekuat mental generasi di atasnya.

Pada diskusi kemarin itu, kami menemukan alasan yang kalau diturunkan bisa kayak nurunin rumus integral deh, panjang dan rumit.

Generasi Z yang sering disalahkan lembek itu kan anak-anak dari generasi sebelumnya, yang orangtuanya saklek dan template banget. Sekolah-kuliah-kerja jadi pns-nikah-punya anak-punya rumah-punya mobil-meninggal.

Seolah-olah, kita harus banget sesuai dengan template tersebut, nggak boleh milih random, kayak misal nikah dulu baru kuliah atau meninggal dulu baru nikah.

Sebabnya, pemberontakan dengan diiringi media sosial yang bergerak cepat namun literasi yang bergerak lambat, membuat generasi di bawahnya lembek dan mudah terbawa trend.

Bisa menentukan pilihan sendiri atas masa depannya, karena ikut-ikutan yutuber yang memilih jalan tersebut, pilih jalan hidup yang out of the box, atau memilih jalan hidup yang bahkan nggak kepikiran sama orang hidup.

Misal kayak pengen kerja sesuai passion walaupun gajinya kecil daripada jadi pns tapi ga nyaman.

Atau memilih ikut bootcamp daripada kuliah, magang daripada sekolah formal, hingga slow menikmati hidup tanpa bekerja karena tidak mau menerima tekanan.

Fenomena ini terasa sangat luas hampir ke semua aspek, termasuk aspek sosial. Generasi ini sudah nggak terima kalau dibuli senior saat ospek, kebanyakan dari mereka berani komplain dan mengkritik.

Sehingga diskusi kami kemarin bermuara pada kesimpulan bahwa generasi sekarang sudah tidak lagi bisa dididik dengan kekerasan, bukannya nurut malah mental, tapi pola pendidikannya adalah dengan pola — teman dan fasilitator — bukan senior-junior atau sekedar guru-murid.

Sehingga pola sosialisasi di sekolah yang terbentuk sebagai teman dan fasilitator, membuat mereka merasa diakui keberadaannya dan mudah diarahkan.

Misalnya, bukan malah membentak atas suatu kesalahan yang sengaja dicari-cari saat ospek, namun diberikan tantangan melakukan sesuatu dengan kita sebagai fasilitatornya. Sehingga adrenalin yang terbentuk bukan karena senior dan gurunya yang galak, tapi adrenalin yang terbentuk adalah bagaimana menaklukkan tantangan dan memecahkan solusi. Lebih real!

Karena mendidik anak itu kan harus sesuai dengan zamannya ga sih?

Jadi, bukan karena generasinya yang salah sehingga jadi sering dibully, tapi mungkin karena generasi di atasnya yang kurang bisa menyesuaikan zaman dalam mendidik.

Lalu, nyambung sama tulisan Fahri Ayat-ayat Cinta kemarin, generasi terbaik yang kita dambakan itu mungkin akan benar-benar datang kalau kitanya terus belajar, sehingga transfer knowledgenya berjalan sempurna.

Terakhir, karena tulisan ini hanya opini, jangan dijadikan acuan ya, please!

SNA

Bandung, 4 Januari 2023

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

No responses yet