Eldi dan Suara Adzan

Sarah N Aini
4 min readDec 28, 2020

--

Si Eldi, anak berusia sepuluh tahun yang sejak setahun belakangan ini selalu ingin azan di masjid dekat rumahnya.

Azannya nggak selesai-selesai, kadang-kadang balik lagi ke awal setelah melafalkan kalimat, “Asyhadualla ilaaha illallaah..”
“Allahu akbar.. allahu akbar..”
“Eeeh, salah..” ucapnya, “Apa sih?”
“Asyhaduannamuhammadarrasulullah!” seru Pak Abuy, muazin masjid berbisik di belakangnya.
“Eh heu euh!”
lalu azannya dilanjutkan.

Begitu terus kisah azan si Eldi yang diulang-ulang, membuat yang mendengar jadinya bosen sendiri,

Suatu hari ibu-ibu pengajian hari rabu menggerutu kepada Pak Abuy,
“Pak, itu lah si Eldi kalau azan suka dimain-mainin! ga enak kedengerannya! jangan suruh azan lagi, ah!” biasalah, ibu-ibu di sini kadang suka ngomong kemana-mana, seenak hatinya layaknya nawar tukang sayur yang di luar nalar, ngasih sen kanan belok kiri, update status WA nilai rapor anaknya, sampai nanyain resep masakan ke tukang jualannya langsung.

“Bu, kan si Eldi lagi belajar azan, nggak apa-apa lah! kalau dilarang nanti nggak ada penerus yang mau azan. Aki-aki di RT kita udah berkurang!” Ucap Pak Abuy sambil menggebuk karpet masjid karena sudah berdebu.
“Iya Bu, anak laki-laki itu harus ada kontribusi di masyarakat, minimal banget mah mau azan, sukur-sukur kalau dia nanti mau jadi imam solat.” Bu Imas menimpali, tangannya sibuk ngebedakin muka anak bungsunya yang abis mandi sore.
“Ih, tapi saya gatel kuping dengernya! harusnya yang azan tuh yang bacaannya udah bagus! tuh gerakin anak-anak muda yang lain!”
“Yaelah Bu! yang mau aja dulu, kali!” Pak Abuy memeras lap pel yang baru saja dia basahi.

“Eldi, kamu mau tau nggak, cara azan biar praktis?” Si Rosid itu yang ngomong, dia ngomong gitu sambil ngunyah keripik pedes lima ratusan, biasanya sih beli di Mang Aan,
“Emang gimana?” Eldi penasaran,
“Nih ya, aku mau azan! dengerin ya!”
“Sok!”
“Allahuakbar duaa kalii…
Allahuakbar duaaa kalii…
Asyahaduallailaahaillallaah duaa kalii… tuh, kan, praktis, kan?”
“Ih, emang boleh azannya disingkat?”
“Kan, kalau azan yang beneran nanti kamu suka lupa! ini yang praktis!”

“Heeeh! ngajarin yang sesat! bukan gitu, Siiiid!” Pak Abuy tiba-tiba muncul dari dalam bedug, eh dari dalam masjid, “Azannya kayak biasa aja, dihapalin, sering azan, nanti jadi inget!”

“Tuh kan, kamu mah bukan gitu!” Eldi manyun
“Hehehhe…” Rosid cuma ketawa sambil ngunyah keripiknya yang tinggal setengah, “Eh, kamu kenapa nggak ngumpulin PR kemarin? itu ibu guru nanyain di grup watsap.”
“HPnya dibawa Bapak kerja, mau minjem punya Ua nggak ada kuota.”
“Yeee, bukannya nyamper ke aku! hayu, ngerjain PR dulu!” Rosid membuang plastik bungkus keripik itu ke tong sampah, lalu melap tangannya ke baju Eldi.
“Iiiih!”

“Jadi kamu beneran mau ikut?” Pak Abuy meyakinkan Eldi sekali lagi
“Iya, aku mau ikut! beneran dapet duit kan?”
“Yah, kalau menang! kalau nggak mah ya dapet ucapan selamat aja!”
“Iya lah, nggak apa-apa! mau ikutan”
“Udah bilang ke Bapak kamu?”
“Terserah, katanya!”

Setelah setahun ini sering azan di masjid dekat rumahnya, Eldi mantap ikutan lomba azan, awalnya dia baca pengumuman di grup watsap, di HP Bapaknya, terus karena tergiur dengan hadiah lima ratus ribu, Eldi mantap untuk ikut.
Lombanya virtual, lewat aplikasi yang sudah ditentukan panitia, tapi yang jadi masalah adalah, dia nggak ada kuota sebanyak itu untuk mengikuti rangkaian kegiatan yang pasti akan lama.

“Pilihannya ada dua, kita cari wifi gratis, atau datengin langsung tempat lombanya!” kalau ada yang bilang hari gini nggak pasang wifi, itu memang ada! untuk keluarga Eldi yang hidup dengan tiga kepala keluarga dalam satu rumah — keluarga Uanya, keluarga Neneknya, dan Ayahnya, — dapat jatah beras buat masak di hari itu juga udah alhamdulillah, apalagi untuk beli kuota internet.
“Kalau beli pulsa sepuluh ribu, bisa kan dapet 1 Giga?” Eldi mengingat-ingat iklan di konter pulsa depan gang.
“Oh ada ya? 1 Giga sepuluh ribu?”Pak Abuy mengingat-ingat

Akhirnya, sejak pagi Pak Abuy dan Eldi sudah duduk manis di rumah Pak Anton, tetangga RT sebelah yang seorang penjual Pecel Lele. Pak Anton punya wifi, setelah menjelaskan maksud dan tujuan mereka, akhirnya Pak Anton bersedia memberikan bantuan.

“Besok aku mau ke kelurahan ngurus bantuan sosial, katanya kita bakal dapet rutin tiap bulan, si Arin kamu dulu yang urus, ya!” Kakak ayahnya Eldi menghampirinya ke kamar,
“Oh, iya, mbak! besok aku libur ngojek dulu kalau gitu.” Agus menidurkan Arin yang baru saja selesai minum susu.
“Bapaaaak, kata Pak Abuy, Eldi juara dua lomba azan!” Eldi berteriak dengan mata yang berbinar berlari ke kamar. Ia baru saja diberitahu Pak Abuy dan memberikan Eldi uang tiga ratus ribu rupiah, “Nih, Pak, uang hadiahnya!”
“Wah, Alhamdulillah! pinter kamu ya! tahun depan ikut lagi ya! nanti kalau ada rejeki Bapak beliin HP Android yang lebih bagus biar bisa buka aplikasi yang banyak di sana.”
“Tahun depan mah udah nggak ada corona! jadi nggak usah pake HP lagi lombanya!”
“Aamiin, Insyaa Allah. Tapi emangnya nggak mau HP baru?”
“Mau sih, biar bisa video call sama Ibu, kan biar nggak usah sambil dicas kalau lagi video call.”
“Iya, ya! doain Bapak ngojeknya rame, ya!”
Bapaknya mengelus rambut Eldi, ia bersiap mandi setelah membuatkan susu untuk anak bungsunya, Arin, yang masih berusia lima tahun. Matanya berat menahan tangis, setelah lelah bekerja seharian, ia mendapat kabar dari istrinya kalau si istri minta cerai, nggak kuat dengan keadaan yang serba kekurangan sementara di perantauannya sebagai TKW, duitnya sudah cukup membuat dirinya bahagia.
“Eh Pak, udah Isya! Eldi ke masjid dulu ya!”
“Iya, nanti Bapak nyusul! mau mandi dulu.”

Bapaknya menatap Arin dengan nanar, memandang kamarnya yang sudah ditambal tripleks bekas di sana-sini, dicat asal menggunakan cat sembarangan warna yang didapat dari tetangga yang baru selesai membangun rumah. Matanya semakin berat, melihat foto pernikahannya terpampang di dinding kamar dekat jendela, lalu mendapat pesan masuk dari TU sekolah, kalau Eldi belum bisa ikut ujian karena masih ada tunggakan tiga bulan.

“Allahu akbar..Allahu akbar!” suara azan anaknya membuat matanya semakin berkabut.

Bandung, 28 Desember 2020

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (1)