Demo Mahasiswa : Idealisme atau Pilihan Terakhir

Sarah N Aini
4 min readSep 27, 2019

--

Ibu saya merapalkan doa-doa saat lihat beberapa berita tentang demo kemarin. Orangtua kita semua, mungkin sangat lekat ingatannya pada kerusuhan Mei 1998 silam. Ibu saya tiba-tiba bilang, “Duh, Ya Allah, mudah-mudahan nggak ada mahasiswa yang jadi korban lagi.”

Orangtua saya bilang, kerusuhan Mei 1998 itu Keueung pisan (mengerikan sekali) akhirnya setelah lama dibungkam, rakyat berani melawan, mungkin di antara keberanian-keberanian yang berkobar itu, ada saja manusia yang sedang bersembunyi, tidak berani melawan, atau bahkan saling mencibir.

Seperti hari ini, bukan sebuah hal yang aneh lagi kalau mahasiswa turun ke jalan lalu menyuarakan tuntutan-tuntutan, pasti juga keluar beberapa pendapat yang bertentangan, pro dan kontra.

Beberapa dosen saya di jurusan selalu melarang mahasiswanya ikut demo karena itu menurut beliau-beliau, menghabiskan waktu dan energi. Kalau keberatan dengan sebuah putusan DPR, kan bisa ajukan ke MK. Begitu katanya, tapi juga ada beberapa dosen yang saya kenal, mendukung aksi gerakan mahasiswa ini. Kalau bukan mahasiswa yang turun, suara siapa yang didengar?

Rasanya hampir di semua kampus, para mahasiswa ini diajarkan materi-materi demonstrasi. Atau bahkan beberapa kampus langsung mempraktikannya di lapangan. Materi-materi yang diberikan di kampus seputar demo, amat lengkap dan terstruktur. Karena untuk turun ke jalan, tentu ada ilmunya. Tidak sekedar menyiapkan massa dan tulisan-tulisan bernada tuntutan.

Sampai suatu hari saat saya sedang berkumpul bersama teman-teman di depan kampus untuk bersiap galang dana, satpam turun dan bertanya dengan nada tinggi, “Hei, mau demo ya!?” nadanya mengancam.

Saya sih tadinya mau jawab, “Ulaheun Pak dedemoan kitu mah ku Bu Cucu! IPK kudu opat.” (Nggak boleh demo-demo gitu Pak sama Bu Cucu! IPK harus empat) Tapi saya takut ditanya IPKnya berapa.

Mahasiswa turun ke jalan memang bukan hal yang aneh lagi, mahasiswa turun ke jalan juga kadang-kadang bukan sekadar demo, tapi juga ngedanus cari uang buat kegiatan. Kenapa ya, suara mahasiswa lebih didengar dan jadi sorotan, beda halnya dengan buruh dan tukang angkot yang sama-sama suka ikut demo juga tapi kadang diabaikan? Karena mahasiswa pemikirannya lebih luas, masyarakat menganggapnya kaum intelektual yang pemikirannya tidak sekedar mikirin hari ini makan apa atau kuota abis mau nyari wifi di mana (Padahal itu juga jadi bahan pikiran pokok sehari-hari buat mahasiswa), tapi pemikiran para pemikir dan keputusan pemerintah, biasanya jadi bahan asik diskusi di sela-sela kosong jam kuliah (jangan ngomongin dosen kalau lagi senggang, téh!). Masyarakat secara tidak langsung membebankan beberapa tanggung jawab kepada mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi mereka yang tidak didengar. Atau kalau di suatu lingkungan mau ada acara, beberapa masyarakat memercayakannya kepada mahasiswa juga, “Aa aja ya yang jadi pemandu acara, kan mahasiswa!”

Beban mahasiswa itu cukup berat, kan, kalau di masyarakat?

Sehingga benarlah Alquran surat Almujadalah ayat 11 mengatakan, “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”

Karena mahasiswa dipandang sebagai orang yang berilmu, maka masyarakat percaya bahwa sebuah pergerakan dari mahasiswa akan berdampak besar.

Namun benarkah tuntutan berupa demo adalah pilihan terakhir? ketika kritik lewat berbagai media digaungkan namun tak didengar, ketika beberapa kejadian yang terjadi sebagai bagian dari akibat kesalahan hanya diabaikan?

Mungkin bisa jadi keduanya benar, tapi yang paling berbahaya adalah jika alasan mahasiswa turun ke jalan hanyalah euforia semata dan ikut-ikutan.

Mungkin di antara mahasiswa yang turun ke jalan, ada beberapa di antaranya yang sebenarnya tidak paham apa yang sedang mereka tuntut. Mungkin di antara yang turun ke jalan, hanya sebagai ajang konten di media sosial sehingga memicu mahasiswa lainnya untuk ikut-ikutan.

Hal ini juga kemudian membuat para pelajar ikut-ikutan. “Yuk, main yuk, ke Senayan!” miris sebenarnya saya melihat berita yang mengabarkan siswa ikut demo hanya ikut-ikutan dan tidak tahu apa yang sedang mereka tuntut.

Di lapangan, orang terkadang sudah tidak memikirkan materi demo lagi, orang-orang bisa terpicu oleh berbagai hal. Provokator lah, yang nggak sengaja nendang kaleng langsung dianggap sebuah serangan lah, lapar lah, kepikiran skripsi belum selesai lah, bahkan IPK yang sedang goyah bisa jadi pemicu yang membahayakan bagai domino yang berefek pada orang lain hingga akhirnya kerusuhan tidak bisa dihindarkan.

Dikata-katain sedikit aja bisa ngerusakin fasilitas umum, jam solat sampai kelewat, atau bahkan nggak sadar kalau barusan udah azan.

Oleh karenanya, untuk adik-adik pelajar seluruh Indonesia, terimakasih sudah turut berjuang, hak kita sebagai masyarakat memang untuk berpendapat, silakan berpendapat dengan bijak, tapi untuk ikut turun ke jalan, baiknya tahan dulu deh ya! resapi dulu baik-baik apa saja yang sedang terjadi di tanah air kita ini. Cari dulu solusi sebelum terbawa nafsu ingin ikut-ikutan. Ingat hak kalian yang lain, yaitu mendapat pendidikan yang layak. Kalau sudah dapat sekolah yang nyaman, tugas kita yaitu belajar, memperkaya pengetahuan agar kelak ketika jadi mahasiswa, kita sudah siap dengan beribu tantangan, mau menyuarakan tuntutan dengan berdemo? silakan! jika itu memang sudah waktunya.

Untuk teman-teman mahasiswa, mari luruskan lagi tujuan, apa yang sedang kita kejar, untuk apa kita lakukan ini semua, karena niat yang baik, harus selalu dengan cara yang baik juga, bukan?

Tetap jalankan perintah agama, jangan tabrak aturan negara, hormati sesama masyarakat, dan tetap luruskan niat, ingat, bukan tentang siapa yang melihat, tapi seberapa besar kita memberikan manfaat. Simpan dulu apdetan storynya buat hal-hal yang lebih manfaat, jangan sampai story yang kalian posting, akhirnya memicu kerusuhan untuk yang lain ingin sekedar ikut-ikutan.

Tetaplah kuat, rapatkan barisan, satukan tujuan. Jika mendaki sendiran untuk mendapat keadilan terasa sulit, bukankah dengan menyatukan tujuan bersama-sama terasa lebih mudah?

SA

Bandung, 27 September 2019/ 27 Muharram 1441 H

--

--

Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.