Cuci Tangan Sehari Seratus Kali
Siang itu, saya menghela napas panjang sekeluarnya dari minimarket. Sebetulnya saya nggak pingin-pingin banget keluar rumah, karena pas sampai rumah, saya akan mencuci tangan, lalu melepas jaket, lalu cuci tangan lagi, menaruh sendal, lalu cuci tangan lagi, mengambil gelas, lalu cuci tangan lagi, mencuci gelas, lalu cuci tangan lagi, menggaruk hidung, lalu cuci tangan lagi. Saya lelah sekali dengan kegiatan mencuci tangan ini. Sekeluarnya dari Minimarket itu, saya menatap langit dan seolah ada suara batin saya menggema di udara kayak di Sinetron Indosiar, “Haaaaah, kapan ini akan berkahir? aku rindu bermandikan matahari seperti ini. Aku rindu naik angkot, aku rindu jajan di pinggir jalan depan SD Negeri.” Saya lalu berjalan lagi menuju rumah sambil berpikir, apakah saya masih ada keperluan di luar rumah? biar sekalian, jadi saya gak perlu terus-terusan keluar rumah. Saya kangen juga beli Bubur Ayam di hari libur, atau beli Serabi sepulang dari lari pagi. Lalu tiba-tiba, ada suara kentungan kayu di udara, saya menatap ke seberang jalan dan melotot, “Apaaaaa ituuu?! kenapa bisa-bisanya tukang Cuanki lewat di depan mataku? Aku ingin beli tapi takut.” diiringi suara kaget — lagi-lagi ala sinetron Indosiar —
Saya sering mengeluh di minggu sore atau senin pagi ketika harus pergi bekerja dan liburan akhir pekan telah usai. Tapi ternyata kenikmatan libur itu akan kita rasakan ketika kita nggak libur. Iya kan? nggak ada kata libur kalau kita nggak libur? setiap di dunia ini ada lawan katanya.
Sesuatu akan terasa berharga ketika sudah tidak ada, ya?
Setiap bangun tidur, saya selalu bergumam dan tersadar, “Oh iya, masih seperti kemarin” dan berpikir untuk melakukan kegiatan yang menguras pikiran agar tidak menonton berita dan mencaritahu infonya di media sosial.
Lekas membaik, dunia. Aku rindu berjalan dengan rasa takut di luar sana sambil berpikir, “ada peristiwa apakah lagi hari ini yang akan menimpaku?”
Bandung, Permulaan April, 2020.
📷 : Dari Leni di Grup WhatsApp