Cara Menentukan Karakter Sebuah Cerita

Bukan tips menulis

Sarah N Aini
6 min readJul 2, 2023

Sudah beberapa tahun sejak saya tidak menulis cerpen, mengikuti lomba menulis, berkontribusi dalam penulisan antologi (karena emang nggak ada yang ngajak), bahkan menyelesaikan tulisan sendiri di folder yang sudah berabad tidak disentuh, akhirnya saya sotoy ingin kembali menulis seputar kepenulisan. Ih hey, siapa saya sampai nulis beginian?

Ilmu kan bisa datang dari mana saja dan siapa saja. Siapa tahu, tulisan ini kelak berguna minimal bagi saya sendiri.

Tentunya, bagi seorang penulis yang perlu ditekankan adalah membaca.

Menulis adalah membaca.

Bagaimana kita mau bisa nulis kalau baca aja ga pernah? Bagaimana kita mau menuangkan isi minuman ke gelas, kalau tekonya saja tidak pernah diisi.

Tulisan ini saya akan khususkan untuk menentukan karakter dalam sebuah cerita, sehingga tokoh tersebut memiliki karakter yang kuat sampai teringat terus dan melekat pada sebuah judul cerita.

Seperti Dilannya Pidi Baiq, Cintanya AADC, atau Fachrinya Ayat-ayat Cinta.

Ketika kita dengar anak SMA berbicara dengan nada puitis, kita langsung tertuju ke Dilan, padahal banyak film-film berlatar SMA sebelumnya yang suka ngomong puitis, seperti Gusur dalam Lupus atau Galih dalam Galih dan Ratna.

Lalu kalau liat ada anak SMA joged-joged sama gengnya, kita inget geng Cinta di AADC. Dan kalau kita liat wanita bercadar, kita refleks nanya, “Aisyah, Fachrinya mana?”

Hal-hal tersebut didasarkan dari penokohan yang kuat sehingga melekat karakter yang khas. Kalau mau diremake ke film lain, rasanya tetap saja kayak niru yang udah duluan ada. Buktinya banyak film serupa yang hanya angin lalu, ramenya hanya saat itu juga, lama-lama orang melupakannya.

“Jadilah trend setter, jangan jadi follower" cenah

Kalau kata M. Fauzil Adhim dalam buku Dunia Kata, “Kita ga perlu ikut-ikutan karya orang lain.” yang ada, kita harus benchmarking. Amati-Tiru-Modifikasi.

Karena yang akan tetap diingat adalah yang pertama, bukan yang mirip.

Lalu, gimana caranya membuat tokoh punya karakter yang kuat?

Kuncinya belajar!

Belajar bukan hanya baca buku, tentu saja banyak jalan. Perhatikan orang sekitar, perhatikan karya yang banyak, analisis karya yang sering dikritik orang. Seperti halnya tokoh dalam Wattpad yang sekarang lagi rame ide cerita tentang anak orang kaya ganteng sekolah di tempat yang keren lalu jatuh cinta pada cewek beasiswa miskin dan cupu, atau kisah ceo muda tampan kaya raya yang kawin kontrak dengan wanita biasa-biasa. Karakter-karakter dalam cerita seperti ini tidak detail dan umumnya sama. Tokoh pasti ganteng tinggi mapan dan dingin, tokoh wanita digambarkan ceria, konyol, kampungan, dan cupu. Sehingga kita bisa gali lagi apa yang bisa dikembangkan dari tokoh-tokoh ini?

Lebih umumnya lagi, pelajari bagaimana tokoh-tokoh dalam ftv atau sinetron kita,

Tokoh utama pria dengan latar tempat sawah dan ladang, pasti kalau nggak suku sunda, ya suku jawa. Saya yang suku sunda asli, suka geli denger kalimat yang terkesan dipaksa seperti,

“Da saya teh atuh tidak taaaahuuuu" ujung kalimatnya dibaca seperti mad layn, diayun dua harakat. Padahal aslinya kan kalau ngomong atuh dan teh nggak digabung.

“Kamana atuuuh kamu teh?” Lagi-lagi dengan nada dua harakat. Faktanya, jika ada 5W+1H diiringi atuh, nadanya harus julid, walaupun dalam beberapa kondisi beneran nanya.

“Kamana atuh? Ulin wae!” (Kemana nih, main aja!)

Kerasa kan ya, perbedaannya.

Pelajari hal-hal detail seperti ini juga pada bahasa lain, karena selain sifat yang akan kita terapkan pada tokoh, tentu bahasa juga sangat memengaruhi.

Lalu contoh lainnya, karakter seperti:

Seorang anak asal Bandung yang arogan dan tomboi selalu berantem di kelas.

“Heh, lo ngajak gue berantem?”

Faktanya, orang yang asli Bandung, sukunya asli sunda, akan sangat kagok kalau harus pake lo-gue. Dipaksakan sekeras apapun, tetap ga enak dan akhirnya akan tetap memegang teguh, urang-maneh, atau sia-aing (kalau adegannya gelut)

Kecuali anak tersebut dibesarkan dalam keluarga blasteran sunda-jawa, sunda-sumatera, sunda kalimantan, atau sunda-betawi yang kesehariaanya berbahasa indonesia, pasti akan mudah mengadopsi jenis panggilan seperti lo-gue, ana-antum, bahkan hamba-tuan sekalipun.

Kalau latar tempatnya diubah jadi Jakarta, mungkin lama-lama akan terbiasa walaupun masih ada logat sundanya.

Orang sunda sendiri, kalau beneran asli, bukan muggle, mereka selalu menambahkan H di setiap kata yang berakhiran huruf vokal.

Kue jadi kueh

Gue jadi gueh

Lo jadi loh

Mie jadi emih

Iya jadi iyah

Aja jadi ajah

Saya jadi sayah

Kita menerapkan ilmu tajwid, hams, mengucapkan huruf dengan keluarnya napas secara samar karena tekanan pada makhraj tidak dilakukan dengan kuat.

Jadi kalau kalimatnya, “Eh, lo yang dorong gue di perosotan kan? Ayo ngaku aja jadinya kan mie gue tumpah!”

Menjadi,

“Eh, elooooh yang dorong gueeh di perosotan kan? Ayoh ngaku ajaaah jadinya kan emih gueh tumpah!”

Saya jadi ingat, ada seorang teman asli Bekasi yang selalu menceritakan keluarganya,

“Emih gua tuh kawatiiir bae kerjaannya.”

Saya yang tau emih itu Indomie dan Supermie, “Naha emih naon emang nu bikin kawatir?” (Mie apa emang yang bikin kawatir?)

Dia yang bingung, malah emosi, “Kok emih naon sih? Emih, ih! NENEK GUA!”

Atau di kesempatan lain,

“Itu hujan! Jaitin baju!”

Si teman Bekasi malah bingung, “Kok baju gua perasaan kagak ada yang bolong, ngapain dijait?”

Dalam bahasa sunda, jait itu artinya angkat, jadi maksudnya angkatin jemuran.

Banyak hal yang bisa kita eksplor jika hidup dalam keberagaman, sehingga menjadi media belajar yang paling mudah. Namun kalau hidup homogen, tidak ada perbedaan suku, karakter, atau kebiasaan, bisa kita temui dalam keseharian yang lain. Misalnya dengan menguatkan budaya di suatu daerah tersebut.

Namun yang terpenting adalah ketika menguatkan karakter pada bahasa, jangan tenggelam dalam hal tersebut, karena kita tidak sedang bercerita pada sesama suku saja. Target pembaca kita adalah umum, yang tidak relate dengan satu kehidupan budaya saja. Jangan terlalu banyak menambahkan ini karena nanti pembaca akan malas bahkan pada santapan pertama. Dan terpenting, tambahkan translate di setiap percakapan bahasa daerah. Bisa ditambahkan pada catatan kaki atau tanda kurung di sebelahnya.

Begitupun dengan tokoh dari suku lainnya. Pelajari budayanya, bahasanya, hingga kebiasaannya.

Mempelajari setengah-setengah hanya akan membuat cerita terasa hambar, cringe, atau bahkan kitanya sendiri jadi males baca.

Lalu, konsisten. Seringkali saya menemukan panggilan lo-gue tapi di kalimat lain, dia panggilannya aku-kamu.

Di Bandung sendiri, panggilan lo-gue agak bergeser ke sunda pride, mereka yang pendatang dan belum bisa berbahasa sunda mengganti sapaan lo-gue dengan urang-maneh atau aing-maneh.

“Urang pulang dulu ya, nanti maneh nyusul aja.”

Terdengar lebih cringe sih, tapi akhirnya membudaya dan meluas karena sering digunakan di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Tentu ini akhirnya jadi budaya yang tidak bisa lepas, sehingga bisa dimasukkan ke dalam penguatan tokoh.

Kebiasaan seperti watak suatu daerah juga penting dicari tahu, lagi-lagi saya akan membahas suku saya sendiri, karena saya tidak mendalami suku lainnya.

Orang sunda sendiri sebenernya halus dan perasa, tidak banyak yang ngomong blak-blakan apalagi kalau sedang marah. Walaupun tidak semua, ya. Tolong garisbawahi. Tapi sebagian besar yang saya temui demikian.

Hal ini terjadi pada teman saya yang tiba-tiba mengirimi saya pesan, “Aku sakit hati sama kamu, kamu marah sama aku?”

Saya yang bingung kenapa manusia ini ujug-ujug pundung tanpa saya singgung, jadi bertanya-tanya,

“Kunaon ai kamu?” (kenapa sih kamu?) Saya tanya.

“Nya kamu teu ngabales chat terakhir aku, kan ceuk aku teh tempatna di Cipaganti. Terus ku kamu teu dibales deui.” (iya, kamu ga bales lagi pesan aku, kan kata aku tempatnya di Cipaganti. Terus kamu ga bales lagi.)

Saya yang tiba-tiba ingin membanting HP langsung membalas, “Nya jadi urang kudu ngabales naon deui?” (Emang aku harus bales apa lagi?)

Tidak semua orang mudah menerima kalau chat dalam percakapan kita diakhiri tanpa embel-embel seperti stiker atau oke, atau emot senyum. Saya sih mikirnya, kalau suatu hal sudah jelas, ga perlu bertele-tele, tapi ternyata beberapa teman yang merasa chatnya hanya dibaca saja jadi tersinggung. Maka nggak heran, kalau ada teman yang akan terus membalas chat sampai stiker pun dibalas.

Jadi pelajaran dalam membangun karakter sebuah tokoh bisa ditingkatkan lewat kejadian-kejadian harian kita juga, lebih peka dalam menangkap makna, kejadian, pertemuan. Karena setiap pertemuan adalah pelajaran bagi kita, yang Allah siapkan untuk media belajar. Jadi jangan salahkan kenapa orang hanya singgah lalu pergi, karena alamiahnya memang seperti itu, iya kan?

Begitupun aku, kamu, yang sama-sama pernah bertemu untuk dijadikan media belajar oleh Allah.

Dzulqaidah, 1444H

SNA

Bandung, 2 Juli 2023
13 Dzulhijah 1444 H

--

--

Sarah N Aini
Sarah N Aini

Written by Sarah N Aini

bekerja adalah untuk menabur manfaat, bukan untuk dilihat.

Responses (1)