Budaya Salah Jurusan
Ustaz Budi Ashari,L.c
Pendidikan kita, cara ngajarnya, konsep yang diajarkannya, apa yang diajarkannya, nggak tahu itu konsepnya siapa. Pinter nggak, soleh nggak. Kebanyakan bikin muter-muter, kurikulumnya banyak, Karena bukan pendidikan konsep nabi. Kalau konsep nabi, singkat, kurikulumnya mudah, hasilnya dahsyat. Hari ini kita kurikulumnya banyak, waktu banyak, lulus S1 aja udah 22 tahun . Lulus S1 masih bingung. Nikah nggak berani, kerja masih nyari, 22 tahun Muhamad AlFatih jadi Sultan, 23 tahun Umar bin Abdul Aziz jadi Gubernur, 17 tahun, anaknya Umar bin Abdul Aziz, Abdul Malik jadi menteri, Usamah bin Zaid 18 tahun jadi Panglima, Abdullah bin Abbas 15 tahun jadi staff ahli negara kekhalifahan Umar bin Khattab, kita ini 22 tahun lulus S1 bingung. Jauh, jauh. Mari kita pikirkan ulang, ada keseharian kita yang salah, ada pola hidup kita yang salah, dan itu kita pertahankan di anak-anak kita.
Tahun ini, adik saya daftar masuk kuliah. Istilahnya beda dari tahun-tahun sebelumnya, kalau tahun sebelumnya ada SNMPTN Undangan SBMPTN, dan UM. Kalau bingung bedanya apa, bisa cari sendiri.
Tahun ini beda, pemerintah menetapkan Jalur SNMPTN Undangan, SBMPTN, dan SMMPTN. Apa bedanya?
Bedanya ada di SBMPTN yang punya sistem baru. Untuk bisa ikut SBMPTN, kita harus ikut UTBK dulu, UTBK ini adalah ujian berbasis komputer sementara SBMPTN adalah seleksi penerimaanya. Lieur kan macana?
Sistem UTBK sekarang sebetulnya lebih baik, karena hasil nilai dari UTBK bisa kita cocokkan dengan passing grade dari masing-masing kampus yang kita inginkan. Misalnya skor UTBK saya 600, dan jurusan yang saya inginkan di Kampus A punya passing grade 580. Nah berati saya optimis tuh daftar ke situ.
Tapi ternyata saat pendaftaran SBMPTN dibuka (dimana waktunya kita milih jurusan berdasar nilai UTBK), passing grade dari masing-masing kampus tidak dimunculkan.
Akhirnya saya nanya, “Berati kamu milih kampus berdasarkan apa?”
“Berdasarkan iman dan taqwa.” Katanya
Dari fenomena ini, saya menangkap satu kesimpulan : Orang-orang akan memilih jurusan yang aman untuk mereka. Aman asal bisa masuk PTN tertentu, bisa kuliah di kampus impian mereka, jurusan apapun itu dengan sistem penerimaan mahasiswa yang menurut saya kian tahun malah membuat saya bingung.
Melihat banyak sekali kegalauan calon mahasiswa akan jurusan yang akan diambil, atau zaman ketika saya dan teman-teman milih jurusan dulu, kebanyakan hanya diarahkan kepada pilihan: masuk jurusan ini aja yang peminatnya sedikit, jadi saingannya juga dikit, atau pilih jurusan ini aja biar cepet dapet kerja.
Lalu orang-orang yang memilih jurusan berdasarkan pilihan-pilihan itu, sering jenuh kuliah karena tidak sesuai passion, mereka pada akhirnya berteriak saat mengerjakan tugas akhir: Meningan nikah aja
Saya tidak menyalahkan orang-orang yang mengambil salah jurusan, tidak juga ingin menghakimi kalau salah jurusan adalah sesuatu yang menyedihkan.
Ilmu itu luas, tak terbatas, bisa dicari di mana saja, salah jurusan, tinggal belok kanan balik haluan, atau menyusuri jalan kehidupan yang terlanjur sudah dijadikan pilihan, kan? Hanya saja yang jadi soal adalah budaya salah jurusan ini seringkali membuat masyarakat jadi bimbang. Kuliahnya perikanan, kerjanya jadi operator kartu prabayar. Iya sih yang penting rejekinya halal, tapi kenapa orang-orang di belakangnya heboh sendiri sambil kasak kusuk, “Kok kerjanya nggak nyambung? apa nggak sayang kuliah 4 tahun ilmunya gak kepake?”
Di antara kita bisa dengan mudah menjawab, “Kepake kok, ijazahnya kan dipake ngelamar ke sini.”
Tapi tidak dengan beberapa orang lain yang kepikiran akan jalannya hidup yang begitu. Banyak yang malah stress menentukan jalan hidup setelahnya, kerja tidak passion, kuliah tidak passion, jadinya bikin channel ‘my skincare routine’ atau ‘ASMR Samyang Challenge”
Setidaknya itu menggambarkan bagaimana masyarakat hasil pendidikan kita yang amat panjang ini. Jauh sekali dari hasil pendidikan Rasul.
TK 2 tahun (1 tahun paling cepet), SD 6 tahun diajarin macam-macam pelajaran yang membuat kita hanya ingat sama penerbit bukunya aja bukan sama isi pelajarannya karena diajarin banyak tapi tahu sedikit-sedikit bukan diajarin sedikit yang penting tahu bayak, SMP 3 tahun melanjutkan materi di kelas 6 tapi lebih kompleks, SMA 3 tahun belajar memilih, IPA atau IPS. Kuliah S1 4 tahun, ikut organisasi dan gede-gedean IPK.
Setelah itu kerja untuk memperkaya diri sendiri. Di sela-sela kerja dengan kejenuhan, lalu menghabiskan uang di akhir pekan di tempat-tempat yang cocok untuk unggah foto di instagram.
Apalagi adik saya cerita kalau banyak sekali teman-temannya yang pergi ke guru tertentu, untuk memperbaiki nilai rapor mereka agar bisa diterima SNMPTN Undangan. Tidak sampai di situ, guru tertentu pun, sampai memasang tarif bagi siswa yang ingin memperbaiki nilai mereka.
Lalu, sebenernya bukan budaya salah jurusan yang jadi masalah utama, yang jadi masalah utamanya adalah : Apakah belajar kita yang 17 sampai 18 tahun ini, setidaknya bisa memberikan manfaat? Ilmu yang kita miliki itu, apakah bisa kita bagi? pengalaman yang amat lama dalam menimba ilmu itu, apakah membuat kita semakin bertaqwa?
Sekolah 18 tahun itu, apakah masih bisa membuat kita menahan diri untuk tidak meributkan hal-hal yang tak penting di media sosial? hanya untuk berlomba-lomba penuhin konten pamer jalan-jalan? berlomba menghujat sebuah fenomena yang sedang viral? Dan apakah sekolah 18 tahun dengan milih jurusan yang penuh dengan pertimbangan itu kita masih tak tahu cara menjaga lingkungan? masih buang sampah sembarangan padahal sebelumnya habis posting ‘Stop Pemanasan Global?’
Sekolah untuk menimba ilmu baiknya membuat akhlak kita juga semakin maju, semakin tawadhu, semakin tingginya ilmu, seharusnya semakin membuat kita semakin dekat dengan Allah kan?
Bukan menurutkan ego agar hak kita dipenuhi namun kewajiban ditinggalkan.
Lagi-lagi, ini hanyalah sebuah tulisan untuk menampar diri saya sendiri. Daripada digampar orang, sakitnya bukan cuma di pipi, tapi juga di hati. Mendingan cepat sadar diri sebelum penyesalan benar-benar menghampiri. *Turun mimbar*
SA
7 Syawwal 1440 H / 11 Juni 2019