Budaya Mandiri dengan Dimarahi
“Yak! silakan bagi yang ingin ke kamar mandi, kami beri waktu sekarang! karena nanti tidak ada waktu lagi!” seorang kakak tingkat dari divisi Komisi Disiplin (selanjutnya akan disingkat menjadi Komdis) memberikan ultimatum dengan nada tegas di lapangan, otomatis adik tingkatnya yang nggak pengen ke toilet pun jadi tiba-tiba pengen ke toilet.
“Tidak ada lagi? baik, kita mulai apel paginya. Silakan pemimpin pasukan maju ke depan!” Komdis memberikan arahan pake nada yang digalak-galakin, muka digarang-garangin, walaupun hati heavy rotation tapi wajah berusaha dibikin heavy metal.
Seorang mahasiswa baru mengangkat tangan, wajahnya pucat,
“Kak! saya mau izin ke toilet!”
“KAN TADI SAYA SUDAH BILANG! WAKTU KE TOILET ITU TADI, KAMU MENDENGAR TIDAK?!” pemilik wajah heavy metal emosi jiwa, merasa omongannya tidak didengar
“Ma.. maaf Kak, tapi.. tapi.. tadi rasa ini belum ada…” Mahasiswa baru tadi menjawab dengan wajah tertunduk, menahan hasrat ingin ke toilet.
Seketika itu, sang Komdis menahan tawa, mukanya sengaja ditahan biar nggak ketawa, berusaha ngebayangin hal-hal sedih tapi pertahannya jebol juga, dia balik kanan lalu nyengir dan tertawa seperlunya, padahal dalam hati udah jingkrak-jingkrak nggak kuat pengen ketawa pake toa masjid.
Cerita di atas saya dapat beberapa tahun lalu dari seorang teman yang sedang Ospek Jurusan, dengan Kakak-kakak yang galak dan nyebelin, mereka berusaha patuh biar nggak dianggap cari gara-gara. Sementara jadi Komdis juga kadang suka cari-cari masalah, cari-cari kesalahan orang lain kayak akun gosip, bad news is good news,
“Kalau ngomong jangan nunduk! liat ke lawan bicara!” Komdis menunjukkan kuasanya
tapi giliran ngomong sambil liat ke wajah si Kakak Komdis, “Apa kamu liat-liat? nantangin?!”
(Perlu dirukiyah kayaknya nih orang, serba salah)
lain dulu lain sekarang, sekarang beberapa kampus saat ospek jurusan, si kakak tingkat ada yang nyamar masuk ke grup maba buat jadi mata-mata, mencapture obrolan negatif tentang kegiatan osjur, keluhan pada kakak-kakak tingkatnya, hingga nada-nada nyinyir karena lelah dimarahi terus.
“Kemarin katanya ada yang bilang ospek ini cuma formalitas ya? siapa tuuh?” seorang kakak tingkat yang dapat info dari si penyamar membawa kabar ini saat acara berlangsung dengan berbicara pake nada menyindir. Nadanya persis kayak pembawa acara musik yang nerima penelepon masuk saat acara kuis, “Yakin tuuuh jawabannya A?”
Untuk bisa bikin disiplin, harus pake cara marah dulu, cari-cari kesalahan dulu atau mengungkit masalah lain sehingga bisa dijadikan alasan buat marah-marah, dengan tujuan akhir : membuat disiplin.
Rupanya cara-cara ini selalu digunakan dari masa ke masa pada sistem pendidikan kita. Dari mulai SMP, SMA, sampai Kuliah.
Stigma ospek yang suram dan melelahkan selalu membayangi para pelajar yang baru masuk ke lingkungan pendidikan yang baru. Jadi anak cuek dibilang sombong, jadi anak sok akrab dibilang caper.
Sementara Ospek sendiri menurut KBBI adalah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar,
dan sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia, mendefinisikan benar dan tepat di sini dengan Ospek yang sebenarnya adalah perploncoan, marah-marah, teriak-teriak, bahkan jadi ngikutin tugas malaikat Atid, mencatat amal buruk.
Ada yang unik dari masa orientasi SMA yang pernah saya ikuti, dulu, ketika saya menjadi siswa, masa orientasi hanya dipenuhi senioritas dengan periode yang cukup lama, mencari informasi ke sana ke sini untuk bisa memenuhi hasrat para senior, meminta tanda tangan kakak kelas, mencaritahu siapa saja nama panitia, kalau nggak hapal, kena marah. Di kesempatan kali ini, saya mengikuti masa orientasi di SMA sebagai seorang guru, walaupun hanya mengikuti beberapa jam, saya menemukan banyak sekali hal yang bisa saya pelajari.
Marah-marah? tentu saja ada, saya rasa ini akan menjadi agenda wajib dalam setiap ospek, karena ya kalau nggak ada rasanya juga kurang greget. Hanya saja, kegiatan marah-marah ini sesuai dengan tempatnya, setelah melalui rangkaian acara yang cukup panjang, melalui evaluasi sikap dan kemajuan peserta orientasi, mereka menarik kesimpulan sikap apa saja dari para peserta yang perlu diperbaiki. Diberikan nasihat dengan cara mereka sendiri, yaitu di depan orangnya langsung, nggak di depan semua orang. Salah satu adab memberikan nasihat kan, langsung pada orangnya dan tidak di depan umum, mungkin saya rasa ini bisa jadi bahan evaluasi kita bersama, bahwa menasihati bukan menghakimi.
Gilaaa kesal rasanya saya lihat adik saya saat ospek online jurusannya dimarah-marahin sama si senior, cari-cari kesalahan, ungkit-ungkit masalah yang nggak penting, sampai saya ingin melabrak si senior itu karena sudah berani-beraninya marahain adik saya, ah tapi nggak jadi, mereka punya cara sendiri dalam mendidik adik-adik tingkatnya dengan tujuan yang bahkan kita juga nggak perlu ikut campur. Hanya saja, input yang didapat, mereka akan memperlakukan hal yang sama pada adik kelasnya nanti, sehingga sistem ospek seperti ini akan bergulir tanpa jelas arahnya ke mana. Lalu, menghasilakan generasi yang mengejar nilai semata, nilai di mata adik kelas sebagai senior yang berwibawa, IPK tinggi, kemampuan ganda karena di setiap organisasi kampus yang mereka ikuti, tujuannya untuk aktualisasi diri semata.
Sebenarnya, nggak salah sih aktualisasi diri, meningkatkan potensi diri kita sehingga siap ketika terjun ke masyarakat yang sesungguhnya. Hanya saja, dunia juga perlu bantuan kita, para intelektual yang mau merangkul kalangan yang masih butuh arahan. Bukan cuma ngasih pandangan, tapi juga aksi yang nyata dengan kebermanfaatan.
Di Ospek yang saya ikuti saat itu, para guru yang membimbing langsung mengerahkan kekuatan alumni-alumninya untuk mengordinir kegiatan ini, saya kira, alumni-alumni ini hanya diminta jadi panitia aja, udah. Seperti kegiatan lain yang saya temui, para alumni diundang ke sekolah untuk mengisi materi, atau berbagi kisah perjalanannya, sampai dihubungi hanya untuk dimintai sumbangan kegiatan (Hahahaha). Di kegiatan ini, saya menemukan bahwa para alumni ini mengenal karakter pesertanya satu persatu, mengevaluasi dan melaporkannya kepada guru-guru mereka, mereka ikut serta dalam setiap kegiatan, bukan hanya dijemput ketika harus diminta jadi pemateri-diberikan kenang-kenangan-diantar pulang oleh panitia- dan tidak ingat siapa saja tadi adik-adiknya yang ia temui.
Suatu hari di masa-masa keorganisasian saya di kampus, seorang teman pernah bilang kalau bentuk nyata kontribusi kita atas ilmu yang didapat di bangku kuliah adalah dengan bergabung dan mengorganisir Karang Taruna, sebuah bentuk nyata pada masyarakat daripada cuma kesel karena ini anak Karang Taruna kerjaannya minta sumbangan terus- itu bisa jadi pilihan yang sangat baik, namun bentuk paling sederhana dari kontribusi dari ilmu yang sudah kita miliki di tingkat yang lebih tinggi adalah terjun ke almamater kita sendiri, membantu apa yang bisa kita bantu, memberikan pengalaman bukan sekedar pemahaman, memberikan ilmu karena dulu kita di tempat itu sudah dapat ilmu, timbal balik, namun sayangnya, tidak banyak sekolah yang merangkul alumni sejauh ini, kasarnya, sekedar diundang dalam kegiatan atau reuni angkatan. Sehingga wajar, ketika rasanya setiap pemuda yang lahir di zaman ini hanya mementingkan aktualisasi diri semata, kontribusi demi memperbesar namanya, namun enggan memberikan manfaat untuk sekitarnya.
Hal unik lainnya, ketika drama-drama ospek selalu hadir di setiap kegiatan, pada Ospek yang saya ikuti ini juga sudah pasti ada dramanya (sayang sekali rasanya kalau dilewatkan), hanya saja, karena para alumni ini kadung dekat dengan para peserta, para peserta ini seakan tak percaya kenapa senior-seniornya melakukan drama seniat itu, padahal mereka sudah tahu itu settingan, namun karena salah satu syarat Ospek itu harus nurut sama senior dan guru, yaudah lah mereka nurut saja drama alay yang dibuat para orangtua ini-mungkin pikirnya begitu.
Adegannya ada dua kelompok panitia yang saling tuduh dan menyalahkan, lalu seorang anak perempuan yang diajak bersembunyi di balik tenda yang gelap sendirian selama drama pertengkaran tersebut, “Kalian nggak mau cari, ini temen kalian hilang?!”
tidak ada yang beranjak, semua diam
….
….
“Nggak ada yang peduli?!” pake nada digalak-galakin
Akhirnya mereka semua mencari dan berpencar. Saya sih cuma ketawa-ketawa aja di pinggir sambil menjaga Indomie yang sedang saya masak diincar Kucing,
“Kamu tiduran di tanah! ayo cepet! kamu pura-pura pingsan!” Kata seorang guru pada anak perempuan tadi, seolah beliau itu Joko Anwar lagi syuting film horor di Hutan.
“Wuaaaah! ini ada!!! di sini!! dia pingsan! ayo angkat!” seorang panitia-entah guru, berteriak memecah kekacauan yang makin kacau
Lalu, anehnya, saya ikut terlarut dalam drama ini juga!! Oh Tuhaaaan, kenapaa?
saya ‘pura-pura’ menjaganya dari dalam tenda di samping tubuh siswa perempuan tadi yang terbujur kaku, padahal fokus saya cuma ke Indomie! saya khawatir Indomienya ngembang dan rasanya jadi hambar.
“Buu..” Eh, katanya pingsan, kok dia ngomong? eh iya kan cuma pura-pura
“Kenapa? Hahaha” Saya tertawa melihat dia yang nurut-nurut aja
“Tadi Bu, pas aku di belakang tenda, ada Bagoooong! (Babi Hutan) aku takut!”
“Hahahahaha” saya bukannya kasihan, saya hanya merasa ini di luar nalar manusia, siapa sih yang jaga lilin di sini?
Setelah drama selesai, mereka semua berkumpul dan dengan jujur bilang, “Iyaaa aku udah tau ini semua settingan, aku cuma takut dimarahin! jadinya nurut aja!”
Mereka semua lalu tertawa, menertawakan hari-hari yang melelahkan, menertawakan hal-hal yang mungkin tidak seharusnya kita lakukan hanya sekedar mengikuti budaya Ospek, menertawakan diri kita sendiri, karena budaya seperti ini akan jadi kenangan yang menyenangkan suatu hari nanti.
Sebuah pelajaran berharga lagi, dalam sejarah kehidupan saya
SNA, Hari Sumpah Pemuda, 2020