BPJS
Aku mencintai dunia seperlunya,
seperti perlunya seorang teman yang ingin silaturahmi tak terputus dengan minjam seratus,
seperlunya berteman, seperlunya berkawan
Aku mengejar dunia juga secukupnya,
seperti menambahkan MSG pada mangkuk cuanki atau menambahkan sambal pada mangkuk mie
Aku mengejar dunia sekenanya, karena jika usahaku yang terlalu dominan, dampaknya akan bertepuk sebelah tangan,
Aku lelah mengkhawatirkan BPJSku belum terbayar, padahal hari ini aku sehat walafiat namun aku khawatir besok aku sakit hingga sekarat,
bukankah hingga hari ini aku masih diberi sehat?
aku lelah khawatir, terus memaksa otakku berpikir, dan aku sedih tak berakhir,
Mengapa aku selalu takut, kalut, lalu mukaku kusut
setiap kali dihadapkan pada pikiran masa depan?
Bukankah — sekali lagi — bukankah, selama ini hidup kita sudah benar-benar baik-baik saja karena dijamin Tuhan?
Aku lelah selalu berharap-harap pada kebaikan manusia, cinta manusia, ekspektasi pada diri sendiri yang terlalu tinggi, hingga lupa kalau diri merasa baik-baik saja selama ini
Bukankah pikiran kita saja yang membuat itu menjadi kacau?
hingga semuanya menjadi balau
Aku ingin bebas menjadi apa saja, mencintai apa saja, melakukan apa saja tanpa tapi, menulis tanpa dihapus, melangkah tanpa ragu,
namun aku khawatir penilaian dunia akan membuatku kembali ketir
Aku yang selalu khawatir ini, kelak akan tetap khawatir jika terus digerus kemelut tanpa pikiran terlebih dahulu disortir,
Lalu di mana letak kebebasannya jika katanya manusia adalah makhluk yang paling cerdas? mungkin karena kita terlalu culas
Aku lelah berharap pada semu, namun dunia selalu memaksaku begitu
SNA
Bandung, 14 September 2023