Berpindah ke Konten Visual
Bicara tentang media memang tidak ada habisnya, dari mulai media cetak yang pamornya berada di atas sampai beberapa belas tahun ke belakang, hingga media visual yang beranjak jadi rajanya media di zaman sekarang.
Dulu, ketika ke Warnet hanya untuk browsing tugas, chattingan MIRC, buka Friendster sampai Facebook, maka di era Facebook hingga Instagram kini (yang bahkan generasi muda sudah jarang buka Facebook), orang-orang pergi ke Warnet hanya sekedar main game online, tapi itu pun terhitung jarang. Teknologi makin canggih, orang jadi hanya menggunakan Handphonenya untuk melakukan semua kegiatan yang dulu kita lakukan di Warnet.
Dulu, mau nonton Youtube mikirnya panjang, karena kuota internet masih belum semurah sekarang, wifi mudah didapat, tetring ke teman tanpa limit waktu, kita-atau saya aja sih- untuk buka Youtube hanya ketika ada Wifi atau Kuota melimpah.
Di zaman media cetak (majalah, koran, tabloid, dan buletin) sedang naik daun, banyak sekali penulis yang berlomba-lomba menerbitkan naskahnya ke media cetak tersebut. Rasanya kalau ada teman yang bisa masuk koran karena menulis di kolom artikel atau rubrik pembaca, udah berasa jadi selebritis.
Justru di zaman sekarang, orang jika ingin terkenal, tinggal unggah video Prank atau sebarin hoaks di Medsos.
Jadi, kesimpulan pertama, apakah pergeseran kreatifitas dan ilmu dalam membuat konten mengalami penurunan dari tahun ke tahun?
Di akhir tahun kuliah, saya sempat gabung di tim film. Kami mendapat pelatihan gratis dari sebuah Rumah Produksi untuk mencari ide-ide film yang segar dan antimainstream. Selain itu, emang dasar rezeki mahasiswa tingkat akhir, kami dapat kesempatan dilatih oleh seorang Sutradara Film sekaligus Penulis Skenario dari salah satu komunitas Film Bandung. Berkali-kali kami diingatkan bahwa, ide film itu sama dari waktu yang lampau ke waktu sekarang, ide itu tidak ada yang murni, karena pada dasarnya manusia atau Content Creator hanya menambah ide itu, mengembangkannya, dan memodifikasi hingga menjadi ide yang baru dari ide-ide yang sudah ada.
Coba deh, kalian bandingkan Percy Jackson (Rick Riordan) dengan Harry Potter (JK Rowling), keduanya sama-sama remaja usia sekolah yang melawan kejahatan, kan? tapi baik Rick Riordan maupun Jk Rowling bisa mengembangkan ide-ide itu menjadi cerita yang berbeda. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.
Target pasar kami saat itu adalah remaja, tujuannya untuk mengajak mereka menjadi agen perubahan peradaban Islam di saat dunia sedang tidak ramah dengan pergaulan remaja pada saat itu (baca: biar nggak gabut di rumah) -Sok iyeh banget ya tujuannya, Hahaha- Pergeseran kebiasaan mereka dari yang senang pergi ke Madrasah sore hari atau magrib, menjadi diam di rumah nonton sinetron.
Saat itu, kami diberitahu kalau remaja terbagi ke dalam 3 kategori. Mari kita jabarkan satu persatu,
Kategori A : adalah kategori yang paling tinggi dalam tingkatan remaja saat itu. Remaja kategori A ini memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi, mereka punya rasa ingin tahu yang besar, nalar mereka jalan dengan stimulus-stimulus yang diberikan orangtua mereka, seperti diberi buku bacaan, mereka akan membahasnya lalu membeli buku serupa yang lain hingga gila membaca. Tontonan mereka tentu bukan sinetron yang saat itu sedang viral (sinetron yang tokoh utamanya Boyband Indonesia atau ketua geng motor), tontonan mereka sudah beranjak ke Youtube, mereka nonton channel-channel dari luar negeri yang di sana sedang viral, national geographic, atau bagaimana merakit mesin sederhana. Tipe remaja ini sudah tau batasan berbuat baik dan buruk. Istilahnya mereka sudah punya pilihan atas hidup mereka sendiri, jadi nggak usah dikasih nasihat berbagai metode, karena disentil dikit aja mereka ngerti, kayak contohnya, mereka sudah mulai berpikir kalau bucin itu buang waktu, bahkan untuk beberepa kelompok remaja ini, mereka sering ikut komunitas hobi bergerombol sama teman satu frame dengannya. Mereka jarang mengikuti trend yang sedang hits.
Kategori B : adalah kategori pertengahan, mereka kadang ikut kajian kadang ikut kegiatan berbau kolaborasi, untuk ilmu pengetahuan, mereka kadang harus distimulus biar semangatnya muncul. Cukup banyak mengenal dunia hiburan, tapi kadang ya masih kebawa, mereka masih suka nonton sinetron, follow akun yang berbau kekinian, atau mengikuti trend artis yang sedang hits. Tapi itu semua masih bisa dipengaruhi oleh gaya hidup yang lain, istilahnya kalau dinasehatin masih kadang-kadang mental.
Kategori C : adalah kategori terakhir yang bisa dibilang terendah, karena masih suka mengikuti hits di luar sana, nonton sinetron, follow akun nggak penting, hobi sekali mengikuti gaya berpakaian terkini (Rok sekolah dipendek-pendekin, pake lipstik terkini, ke sekolah sampai sempet gambar alis dulu, atau pake sepatu aneh-aneh dan celana sekolah dibikin Cut Bray atau pensil (tergantung zamannya).
Lalu, sasaran kita hanyalah remaja B dan C. Remaja tipe A nggak usah dikejar, karena pada dasarnya pemikiran mereka sudah tersusun, tinggal diarahkan sama orang dewasa di sekitarnya, maka mereka bisa megajak temannya yang berada di kategori B dan C bergabung.
Nah, gimana sih, cara nyosor remaja B dan C? salah satunya, karena zaman sudah bergeser ke media visual, kita pepet pake film. Karena saat itu vlog sudah mulai ramai, orang berlomba-lomba bikin vlog dan film pendek. Semua konten di Youtube masih sesehat itu.
Tipe video di Youtube yang ramai saat itu kayak, “10 Cara mengerjakan soal ujian”, “5 Cara minta uang jajan yang baik ke Ortu” atau “Tipe-tipe siswa saat diserang tugas.”
Hingga pada akhirnya, karena video semacam itu sedang banyak diproduksi, muncullah Content Creator baru di Youtube, seperti Kevin Anggara, Tim2one, Bayuskak, hingga Raditya Dika yang beberapa tahun lalu sempat menjadi idola beberapa anak muda. Konten-kontennya yang unik, sederhana, tapi menyajikan kualitas editan yang cukup baik membuat channel -channel tersebut sangat dikenal.
Remaja di tipe B dan C, lama kelamaan beralih juga ke Youtube, tapi masih juga nonton sinetron dan acara TV yang kurang bermanfaat, mulai tergugah untuk terus mengonsumsi tontonan Youtube yang beragam, semakin banyak, semakin banyak lagi, hingga akhirnya mereka ikut membuat dan menjadi sebuah trend yang baru.
Youtube mulai penuh, orang-orang kini mudah terkenal hanya dari video tutorial yang mereka unggah, atau daily vlog yang menceritakan seseorang dari bangun tidur sampau tidur lagi. Sehingga, ide segar pun dibutuhkan, karena ide yang sudah ada pun sudah banyak dikembangkan, mereka mengambil ide-ide itu lagi lalu membuatnya seolah-olah menjadi baru dengan kemasan seadanya, tanpa modifikasi keilmuan yang cukup. Hingga terjadilah keramaian tontonan Youtube yang kurang bermanfaat seperti sekarang.
Ide bisa berkembang dengan baik jika dibawa dengan keilmuan yang baik, jangan hanya memikirkan dampak menggiurkan agar terkenal, namun kualitas nomor sekian.
Sasaran kita, tentu saja masih remaja usia sekolah, karena mereka masih bisa diubah ke arah yang lebih baik, bersama-sama memikirkan nasib baik seperti apa yang harus kita sama-sama ciptakan, bukan berpikir nasib baik lewat jalan terkenal mana yang harus individu ciptakan.
Nanti, kalau terlalu terang dengan gemerlap dunia, penghuni langit mungkin terlalu silau untuk melihat kita sehingga sulit membuat kita dikenal di langit sana.
Hidup itu, untuk menebar manfaat kan? bukan sekedar ingin dilihat.
SA
10 Agustus 2019/ 10 Dzulhijah 1440H
Nah, tulisan di atas tadi ternyata ada di draft medium selama ini, lalu ketika saya mencoba nonton TV, saya mulai menemukan hal yang mengecewakan sama salah satu stasiun TV. Di awal-awal kemunculannya, stasiun televisi ini berbeda dari TV Nasional lainnya, karena usut punya usut, mereka menyasar kalangan orang pintar-bukan dukun-sebagai penontonnya, Orang pintar di sini adalah seperti yang saya sebutkan di atas, golongan A. Masyarakat golongan A (lalu saya membaca artikel ternyata stasiun televisi ini mengatagorikan masyarakat penonton dengan golongan A dan golongan B), adalah orang yang sudah tidak menonton TV, seperti yang saya bilang, orang-orang ini tidak lagi membuang waktu seharian menonton sinetron atau talkshow dengan gimmick, mereka lebih senang menonton acara yang masuk akal, dan itu tidak ada di televisi nasional. Mereka mengisi waktu luangnya dengan tontonan dari netflix atau channel youtube tertentu. Sehingga, dengan pemikiran seperti ini, dengan keidealitasannya, stasiun televisi ini kalah saing dengan stasiun televisi lainnya yang masih menyasar golongan C. Golongan C, atau bahkan D, masih senang dihibur dengan acara talkshow penuh gimmick hingga sinetron yang tidak masuk akal. Coba cek di setiap rumah saat sore hari, berapa banyak ibu rumah tangga yang menonton acara-acara itu atau bahkan membiarkan TV dibiarkan menyala saat tayang sinetron tapi nggak ada yang nonton?
Rupanya di tahun-tahun sekarang, masyarakat C sudah merambah ke youtube sebagai cara untuk menghibur diri. Awalnya mereka menonton channel vlog, lama lama pasar semakin meningkat dan para kreator mencoba menyajikan gimmick di sana, masyarakat yang senang dengan gimmick, pada akhirnya diasuh dan dimanjakan dengan konten-konten prank yang merajalela. Bahkan sebuah konten prank bisa menjadi trending di youtube saat ini. Bedakan dengan trending youtube beberapa tahun silam. Mana ada konten prank atau konten pamitan jadi trending? youtube sudah berubah menjadi televisi.
Media makin menyesuaikan dengan pasarnya, saya pikir, rasanya sulit sekali menegakkan idealisme seseorang di media. Orang-orang lebih senang konten yang banyak digandrungi ketimbang konten yang berbeda. Belum habis rasa kecewa saya pada stasiun televisi itu, satu-satunya stasiun TV Nasional yang saya sukai, saya juga kesal dengan konten-konten di youtube yang isinya sama semua. Prank, konten keluarga artis, sampai orang-orang korea yang berlomba-lomba membuat konten berbahasa Indonesia.
Pasar indonesia memang begini adanya, ya nikmati saja dengan lapang dada, tapi jangan lupa tetap melihat sudut pandang yang lain, bahwa ketika pasar sudah terlalu ramai dan biasa, kita tinggalkan saja dan mencari hiburan kita sendiri.
Mungkin kita harus kembali membaca koran?
Bandung, 5 Ramadan 1441 H
Gambar dari : peacephoenix.wordpress.com