Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jadi Nyaman
Tulisan pertama di tahun 2021
Halo kaum profesional rebahan! nggak kerasa udah mau setahun pandemi ini di Indonesia, ya. Gimana, udah mulai nyaman dengan work from home, school from home, dan serba delivery order? udah berapa tuh koin shopeenya karena belanja online terus? hahahaha
Mari kita tarik nafas sejenak, mencoba lapang dada atas semua keputusan Allah pada kita. Berat bagi kita rasanya, terutama sih saya, yang berharap sejak maret, “Juni juga kelar, bisa masuk sekolah lagi.” lalu harapan itu kandas dan berharap lagi, “Januari kita bisa masuk sekolah lagi!” lalu lagi-lagi kandas. Tarik nafas juga untuk kalian yang sudah merencanakan liburan atau pulang kampung, reuni angkatan, acara besar sampai bisnis yang omzetnya turun. Bersabar itu teryata nggak semudah teorinya ya, ingin rasanya marah-marah sama orang secara random, marah-marah pada warga yang lagi nonton sinetron Ikatan Cinta (Disambit Ibu-ibu fans Aldebaran sekelurahan),
Berat sekali bagi saya ketika murid-murid saya bertanya, kapan masuk sekolah, kita bisa ke sekolah lagi atau nggak, terus proyek drama kita gimana, pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya terpuruk karena saya memberikan jawaban yang seolah membuat mereka berharap, “Doain ya! semoga segera berlalu.” bagi beberapa guru — termasuk saya — sangat menyadari bahwa tidak semua siswa dapat memahami pembelajaran online tanpa dibimbing secara langsung. Kalau di sekolah, guru pastinya akan fokus belajar sama siswa, nggak akan sambil sibuk cuci baju, cuci piring karena orang rumah kalau abis makan nggak pernah dicuci (maap curhat), jemur baju, sampai ikut demo dulu karena tahu dan tempe yang tiba-tiba langka, “Tahu Tempe tuh udah paling murah! ini kok sampai langka!” (demo ibu saya di rumah yang terekam di otak). Di sekolah juga guru nggak akan minta kita beli beras sama galon dulu sebelum kita mau ngerjain tugas, nggak mungkin guru pas mau ngajar MTK tiba-tiba bilang dulu,
“Eh tolongin dulu beliin beras dua kilo sama seblak Ceu Esih, ya!”
“Tapi, Bun, aku mau belajar, ini tugasnya banyak!”
“Eh, mau ngelawan sama Bunda? iya? astagfirullah punya anak durhaka banget.”
“Bunda tuh, nggak paham perasaan aku!” sambil berlari ke kamar mandi dan menangis di bawah shower, “Aku ini anak siapaaaa??”
lalu si anak bikin story medsos, “Broken Home, mental illness”
Semenjak new normal diberlakukan, mereka yang nggak mikir jangka panjang langsung pergi liburan, pesen tiket pesawat, tiket kereta, booking hotel, update story, mungkin mereka juga nggak sepenuhnya salah, karena pemerintah sendiri udah ngebolehin dan mempromosikan tempat wisata untuk menaikkan perekonomian, jadi salah siapa dong?
UMKM juga mulai bergerak lagi, bisnis mulai berkembang lagi, ojeg online dan angkot mulai lagi beroperasi, tempat makan dan tempat wisata gencarin lagi promosi, pekerja kantoran sudah mulai WFO (Work From Office), Indomaret dan Alfamart saingan lagi, tukang parkir mulai ngumpet lagi di semak-semak bersiap muncul saat pemilik motor datang, semua mulai berjalan lagi perlahan bahkan ada yang sudah normal, kecuali pendidikan. Hanya sektor pendidikan yang sejak pandemi masih stagnan, online dan rebahan. Padahal siswa-siswa di luar sana juga sudah banyak yang main ke sana-sini.
Pemerintah di saat pandemi gini ujug-ujug bikin kehebohan, mengesahkan omnibus law yang membuat masyarakat akhirnya turun ke jalan, demo di seluruh negeri, yang nggak paham juga ikutan turun ke jalan, bikin tiktok abang jago dan akhirnya jadi selebgram, pilkada dilaksanakan lebih tepatnya dipaksakan. Lagi-lagi, semuanya sudah terasa normal kecuali sektor pendidikan. Kita dinomorsekiankan —
Memang untuk sektor pendidikan, potensi virus tersebarnya akan sangat tinggi, jadi kami paham. Tapi yang jadi masalah di sini adalah ketika tidak semua siswa di Indonesia ini bisa bebas sekolah daring dengan suka cita hingga akhirnya nyaman dengan kondisi seperti ini. Awalnya dipaksa di rumah aja, belajar via media video, hingga acuh ketika harus mengumpulkan tugas. Tugas yang harus mereka kerjain juga kadang random, materinya nggak paham, teorinya nggak paham, tugasnya banyak, dan siswanya tidak dapat fasilitas belajar daring secara merata. Tidak semua siswa di Indonesia itu bisa dapat jaringan internet yang mudah, gadget yang bisa digunakan, kadang mereka rebutan sama emaknya,
“Bu, kenapa sih kalau saya ngechat mau ambil laundry-an ibu nggak pernah bales?”
“Aduh, maap nih, HPnya dipake sama si Bedul!”
“Oh, buat belajar ya?”
“Nggak, buat push rank!”
((Buang dia ke sumur, Buuuu! siapa tau nanti jadi menteri kayak nabi Yusuf))
Pernah liat bapak-bapak bawa karung sambil ngubek-ngubek tempat sampah? untuk bisa makan, bapak-bapak itu harus rela ngubek tempat sampah biar dapet gelas Aqua dan bisa dijual buat beli berlian — eh beli beras — saya yakin sih, Bapak itu tau ada Corona, tau kalau sampah itu kotor, tapi emang pemerintah mau jamin isi perut anak dan istrinya? Hah? HAH?! (maap wanita muda sedang emosi)
Pernah liat anak-anak yang matanya sakit gara-gara kebanyakan main game? atau anak-anak yang nggak sekolah karena nggak punya HP? atau anak-anak yang berantem sama ibunya karena tugasnya susah, materinya nggak ngerti dan ibunya juga nggak paham bantuinnya gimana?
Pendidikan menurut saya adalah faktor utama penentu sebuah negara bisa maju, kalau kita nggak perhatian sama pendidikan di sekitar kita, nggak peduli apakah semua anak sudah sekolah dengan layak, siapa yang mau gantiin bapak dan ibu di atas sana yang bikin keputusan untuk menutup keputusan lainnya seenak hatinya dan karena kepentingan golongannya aja?
Siapa yang akan menjadi pemimpin kayak khalifah Umar r.a yang mau repot-repot keliling malam hari untuk memastikan siapa saja warganya yang belum makan?
Corona ini membuat kita yang awalnya terpaksa melakukan sesuatu menjadi nyaman dengan keadaan, jangan terlalu nyaman, nanti kalau udah sayang kan bahaya, Corona merasa dapat tempat yang cocok dengannya. Mau emangnya?
Tulisan Berisi Marah-marah, 6 Januari 2021