Aplikasi Zero Waste Dalam Kehidupan Sehari-hari
Jaga Gengsi Kok Segitunya?
Baru-baru ini saya mulai penasaran dengan apa yang ada di facebook. Walaupun membuka facebook membuat saya lelah karena postingannya sudah tidak lagi relevan, namun membuka instagram terus menerus semakin membuat lelah karena postingan serupa diunggah berulang-ulang sampai bosan dengar lagu-lagunya.
Tapi ada yang saya pelajari dari facebook, yaitu postingan ibu-ibu yang suka memberi nasihat. Walaupun pake urat dan ngotot, itulah khasnya si medsos yang satu ini. Gimanapun, membuka medsos berlebihan memang gak baik buat kesehatan sih.
Postingan itu diunggah oleh Kiki Barkiah, seorang pakar parenting yang dulu saya ikuti terus. Beliau posting beberapa potongan komentar dalam sebuah postingan dari medsos lain
Pernah nggak sih, liat orang di kondangan air mineral gelasnya nggak habis terus disimpan sembarangan aja lalu makanan di piringnya masih numpuk lauk bahkan nasinya dan berakhir di kolong meja?
Atau, ketika makan di luar liat piring dengan sisa makanan yang masih banyak, belum kalau all you can eat, rasanya abis makan all you can eat kita kayak serakah banget ☹
Sedihnya, beberapa orang menganggap menyisakan makanan saat makan di luar itu buat jaga gengsi atau nafsu aja pas liat menu pengen mesen ini itu dan berakhir nggak habis.
Berkali-kali waktu kecil ibu saya sering ngingetin makanan itu kalau nggak habis kita nggak dapat berkahnya atau bahkan mitos orangtua zaman dahulu kalau makan nggak habis nanti nasinya nangis. Tapi hal-hal itu menjadi nggak berarti di zaman sekarang, sekarang kita sudah nggak pernah lagi kan denger mitos atau peringatan keras seputar menghabiskan makanan.
Menurut Antaranews, Indonesia sendiri menduduki peringkat ketiga dunia penghasil sampah makanan atau sekitar 23–48 juta ton pertahun pada periode 2019–2020. Padahal angka stunting di Indonesia juga tinggi yaitu 21,6 persen berdasarkan data SSGI 2022. Kontradiktif sekali kan, dengan fakta bahwa kita adalah negara penghasil sumber daya alam terbesar?
Hal ini pernah dibahas sewaktu saya ikut Jambore Sekolah Alam lalu, dimana fakta-fakta ini bisa diatasi dengan pertanian regeneratif sehingga ketahanan pangan bisa digalakkan. Menanam tanaman sendiri sehingga tidak ada lagi istilah kelaparan nggak punya uang untuk beli sayur. Lah nanam tongkat aja jadi singkong, kok kita ini bisa semiskin ini?
Tapi pengelolaan pangan pada diri masyarakat yang masih kurang, masih gengsi kalau isi piringnya habis sampai bersih karena dikira kelaparan, malu kalau pesen makannya dikit, takut lapar kalau ambil makan secukupnya, menunjukkan kita bener-bener bermental miskin.
Negara kita juga tergolong masyarakatnya konsumtif. Ada yang viral sedikit langsung rame, es kepal milo viral langsung antri, nasi mentai viral langsung pada beli, dalgona kopi viral langsung pada ikutan bikin, padahal lidah kita tahu kan nggak semuanya cocok, sehingga ya berakhir di tempat sampah.
Beberapa kondimen makanan juga hanya sebagai pelengkap rasa saja pada masakan. Kayak tomat atau bawang daun yang sebenarnya sehat untuk dimakan hanya berujung di tempat sampah karena nggak doyan.
Lalu ujung-ujungnya bermasalah di pengelolaan sampah. Sampah organik menumpuk dan bisa jadi salah satu penyebab gunungan sampah meledak karena kebanyakan gas metan. Semua sampah digabung karena kita juga nggak paham ilmunya.
Negara berkembang seperti Indonesia mungkin hanya sampai slogan ‘Buang Sampah Pada Tempatnya’ karena terlalu banyak urusan yang lebih serius daripada memilah sampah, urusan yang lebih serius kayak besok bisa makan atau nggak, hari ini bisa makan malam atau nggak, sampai gimana caranya dapat segenggam beras.
Tuhkan, ini akan jadi terus lingkaran setan yang nggak selesai-selesai.
Jadi, solusinya, kita perbaiki dari mana dulu nih?
SNA
Bandung, 29 September 2023
13 Rabiul Awwal 1445 H