“Bu, Aku Sudah Mimpi Basah, Loh!”
Kalimat itu pernah saya dengar saat murid saya menginjak kelas 5 SD. Murid laki-laki yang masih suka menangis dan menempel pada guru kalau lagi nggak diajak main. Lalu tiba-tiba suatu hari anak tersebut mengucapkan hal yang tak terduga.
“Bagaimana bisa? Dia kan masih kelas 5!” batin saya bergejolak.
“Serius bu! aku udah mimpi basah!”
“Masa sih? yang bener, ah!”
Saya masih ragu untuk nanya, ‘emang mimpinya kayak apa?’
“Mmmh, gini,” saya berhati-hati “Berati, solatnya harus udah bener, ya. Udah mandi wajib kan?”
“Udah bu, aku udah bilang kok ke ibu aku!”
“Bu Sarah, aku kayaknya haid deh!”
“Heeeh? ini baru pertama kali?”
“I..iya, Bu! Ibu, aku mau minta pembalut dong!”
“Mau Ibu bantu pakenya? bisa gak?”
“Bisa kok Bu!”
“Yaudah, kalau ada apa-apa panggil Ibu ya!”
“Iya Bu, Makasih.”
Dialog-dialog di atas dilontarkan langsung oleh murid-murid saya yang duduk di kelas 5. Mereka bisa mengutarakan semua itu, sesantai kayak di Pantai, seasik kayak di Tasik. Nyaris tanpa beban. Beda halnya dengan saya dan teman-teman saya dulu yang menceritakan hal-hal itu pada orangtua sambil menangis.
“Huaaaaa! ini apaaa?”
Begitu tau apa yang kami sedang alami, kami depresi.
Hal-hal menuju Baligh pada anak-anak ini dibahas kemarin bersama guru-guru di Sekolah. Lalu, ada seorang guru senior yang memberitahu kami bagaimana cara mengatasinya. Apakah semua hal itu harus diterangkan secara jelas? ataukah dibuat secara implisit saja?
Mungkin baik sekali jika kemudian tulisan ini menjadi sebuah diskusi untuk menambahkan kekurangan di sana sini. Saya terbuka sekali, Mari!
Semua hal yang membahas reproduksi dan pendidikan seputar akil baligh selalu mengundang tawa. Kenapa sih? Jadi ingat kata guru biologi waktu SMA, bahwa sebisa mungkin menjelaskan hal-hal seperti ini jangan pernah sekali-kali kita tertawa. Karena ini kan hal serius, tidak ada yang bisa dibuat ke arah bercanda.
Seorang guru senior di sekolah kami menjelaskan kepada muridnya berdasarkan kitab yang pernah beliau pelajari. Salah satunya kitab Safinah (Safinatun Najah) yang membahas mengenai Fiqih mazhab Imam Syafi’i.
“Jadi, begitu ada anak yang cerita kalau dia sudah mimpi basah, langsung jelaskan dan ajak mereka diskusi.” jelas beliau. Sebelumnya saya juga pernah menulis hal yang sama dengan kasus siswa yang sama. Bisa dilihat di https://ainisarahnurul.tumblr.com/post/160383965311/mohon-dijaga-perasaannya
“Jelaskan bahwa cairan yang keluar dari tempat keluar itu ada ‘Mani, Mazi, dan Wadi.’ Semuanya berbeda, dan ini perlu diperhatikan.”
“Jika yang keluar mani, maka wajib untuk mandi besar, jika mazi dan wadi, hanya perlu dibersihkan dan berwudu ketika akan shalat.”
Karena khawatir penyampaian diksinya salah, lebih lengkapnya, seputar penjelasan Mani, Wadi, dan Mazi bisa dilihat di sini
Sebetulnya, perlukah hal-hal seperti ini sudah disampaikan pada anak usia SD?
Jawabannya, adalah harus! karena teknologi yang tidak bisa kita batasi, membuat anak-anak mencari tahu dan mendapat informasi sendiri dari media yang mereka kenal saat ini. Itulah sebabnya, beberapa anak yang tidak terlihat khawatir sama sekali ketika menceritakan bahwa dirinya sudah haid, bisa terlihat tenang. Karena teman-teman mereka menceritakan lebih banyak dan lebih menyenangkan dibandingkan orangtuanya. Atau mereka mendapat berbagai informasi tersebut secara mandiri dari berbagai media.
Lanjut Pak Senior kami lagi, jelaskan secara jelas apa saja yang akan dialami anak perempuan dan anak laki-laki ketika menginjak usia baligh. Usia baligh di dalam kitab Safinah yang telah dituturkan tadi, sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan. Lalu keluar sperma(mendapatkan mimpi basah) dan anak perempuan sudah mendapatkan haid pertamanya setelah usia sembilan tahun, mereka sudah dikatakan baligh. Jika anak perempuan sudah haid sebelum usia sembilan tahun, maka itu bukanlah haid. Apalagi anak laki-laki yang mendeklarasikan dirinya sudah mimpi basah di bawah umur 9 tahun, itu mah ngompol kali ah. Selengkapnya mengenai masa baligh bisa baca di sini.
Hal yang perlu diingat kenapa kita harus menjelaskan sedetail ini adalah untuk mengajarkan bersuci pada mereka. Jika anak-anak kita sudah mimpi basah namun mereka tak tahu apapun, lalu mereka shalat, berarti kan shalatnya nggak sah. Mereka harus mandi besar dulu. Begitupun perempuan, untuk bisa shalat, mereka haruslah suci dari haid terlebih dahulu, barulah bisa shalat. Suci dari haid pun banyak sekali yang perlu dijelaskan, dari mulai warna cairan yang keluar sudah tak berwarna lagi, berapa jumlah hari wanita haid, sampai bagaimana cara-cara mandi besar.
Terkadang, ada juga anak perempuan yang sudah lebih dari dua minggu nggak shalat karena darahnya masih keluar. Padahal darah haid maksimal hanya 15 hari, selebihnya jika masih keluar itu darah istihadoh yang mewajibkan kita untuk tetap shalat.
Betapa rumitnya sebetulnya penjelasan-penjelasan ini yang mengakibatkan anak-anak ingin mengetahui lebih banyak, sehingga timbulah rentetan pertanyaan.
Maka marilah kita buka lahan diskusi bersama mereka, kita bagikan pengalaman kita, dan jika belum banyak mengetahui hal-hal serumit itu, kita ajak mereka mencari bersama.
Jika mereka sudah memasuki masa baligh namun menutup aurat belum sempurna, atau pergaulan masih sembarangan, itulah tugas kita untuk selalu mengarahkan.
Adakalanya anak-anak bahkan kita sendiri juga malu untuk membahas hal-hal seperti ini, karena berhubungan dengan pribadi kita yang dianggap tabu untuk diperbincangkan. Lalu apa fungsinya menjelaskan hal-hal tersebut pada anak-anak usia SD?
Tujuannya adalah untuk menyiapkan mental mereka agar siap berjuang. Memasuki masa baligh artinya mereka sudah harus berjuang sendiri. Melawan hawa nafsu, mengontrol emosi, hingga mempersiapkan masa depan agar tetap dalam koridor yang benar.
Bukan hal yang tepat ketika menjelaskan hal ini ketika mereka sudah baligh, mereka tak ada persiapan, tak memiliki bekal, dan akhirnya melalukan pembenaran dari saran teman-temannya. Anak-anak perlu latihan sejak dini, mematangkan pikiran mereka sehingga tidak ada istilah masa remaja adalah masa labil yang menjadikan wajar bila pada masa ini, mereka bisa berpindah akidah dan bebas memilih ideologi. Ini sama sekali tidak dibenarkan.
Referensi lain seputar masa baligh bisa lewat tulisan M. Fauzil Adhim di sini
Seperti dikatakan oleh M. Fauzil Adhim, seorang pakar parenting yang mengungkapkan bahwa, “Anak akan belajar meraih kematangan berpikir ini melalui proses latihan dan terus-menerus mengilmui disertai latihan. Sekedar berpengetahuan banyak tidak menjadikan anak mampu berpikir secara terarah dan tertata.”
Jadi, jika perbekalan matang, bukankah anak-anak kita sudah siap untuk menempuh perjalanan?
Wallahu’Alam
(Di kemudian hari mungkin tulisan yang penuh kekurangan ini akan mengalami beberapa revisi berdasarkan perbaikan dari teman-teman atau pembaca yang budiman)
Referensi :
- https://www.bmh.or.id/benarkah-anak-kita-sudah-aqil-baligh/
- http://www.nu.or.id/post/read/80726/tiga-tanda-seorang-anak-dikatakan-baligh
- http://www.nu.or.id/post/read/51540/perbedaan-mani-madzi-dan-wadi
SA,
1 Juli 2019/27 Syawwal 1440 H